BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit darah tinggi yang lebih
dikenal dengan hipertensi merupakan penyakit yang mendapat perhatian semua
kalangan masyarakat, mengingat dampak yang ditimbulkannya baik jangka pendek
maupun jangka panjang sehingga membutuhkan penanggulangan jangka panjang yang
menyeluruh dan terpadu. Penyakit hipertensi menimbulkan angka morbiditas
(kesakitan) dan mortalitasnya (kematian) yang tinggi. Hipertensi merupakan
penyakit yang timbul akibat adanya interaksi dari berbagai factor resiko yang
dimiliki seseorang.
Berbagai penelitian telah
menghubungkan antara berbagai factor resiko terhadap timbulnya hipertensi. Secara
umum masyarakat sering menghubungkan antara konsumsi garam dengan hipertensi.
Garam merupakan hal yang sangat penting pada mekanisme timbulnya hipertensi.
Pengaruh asupan garam terhadap hipertensi melalui peningkatan volume plasma dan
tekanan darah. Keadaan ini akan diikuti oleh peningkatan ekskresi kelebihan
garam sehingga kembali pada keadaan hemodinamik yang normal.
Oleh
karena itu diperlukan suatu gerakan untuk memberikan sosialisasi tentang cara
untuk mencegah terjadinya hipertensi Hal tersebut yang kemudian menjadikan
penulis untuk membuat makalah tentang hipertensi.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang diatas maka penyusun dapat membuat rumusan masalah seperti berikut.
a. Apa
yang dimaksud dengan hipertensi?
b. Apasajakah
klasifikasi hipertensi?
c. bagaimana
etiologi dari hipertensi?
d. Bagaimana
patofisiologi dari hipertensi?
e. Bagaimana
tanda dan gejala hipertensi?
f. Bagaimana
faktor resiko hipertensi?
g. Bagaimana
Komplikasi dari hipertensi?
h. Bagaimana
Penatalaksanaan hipertensi?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang diharapkan dari
penulisan makalah ini adalah seperti berikut ini.
a. Untuk
mengetahui definisi hipertensi
b. Untuk
mengetahui klasifikasi hipertensi
c. Untuk
mengetahui etiologi hipertensi
d. Untuk
mengetahui patofisiologi hipertensi
e. Untuk
mengetahui tanda dan gejala hipertensi
f. Untuk
mengetahui faktor resiko hipertensi
g. Untuk
mengetahui Komplikasi hipertensi
h. Untuk
mengetahui Penatalaksanaan hipertensi
BAB II
PEMBAHASAN
1.1 Definisi Hipertensi
Hipertensi lebih dikenal dengan
istilah penyakit tekanan darah tinggi. Batas tekanan darah yang dapat digunakan
sebagai acuan untuk menentukan normal atau tidaknya tekanan darah adalah
tekanan sistolik dan diastolik. Bedasarkan JNC (Joint National Comitee) VII,
seorang dikatakan mengalami hipertensi jika tekanan sistolik 140 mmHg atau
lebih dan diastolik 90 mmHg atau lebih.
Hipertensi didefinisikan sebagai
tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan
diastolik diatas 90 mmHg. Pada populasi lanjut usia, hipertensi didefinisikan
sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg.
2.2 Klasifikasi Hipertensi
2.2.1 Berdasarkan
Penyebab
a. Hipertensi
Primer (Esensial)
Adalah
suatu peningkatan persisten tekanan arteri yang dihasilkan oleh
ketidakteraturan mekanisme kontrol homeostatik normal, Hipertensi ini tidak
diketahui penyebabnya dan mencakup 90% dari kasus hipertensi.
b. Hipertensi
Sekunder
Adalah
hipertensi persisten akibat kelainan dasar kedua selain hipertensi esensial.
Hipertensi ini penyebabnya diketahui dan ini menyangkut 10% dari kasus-kasus
hipertensi.
2.2.2 Berdasarkan
Bentuk
a. Hipertensi
Diastolik
Yaitu
peningkatan tekanan diastolik tanpa diikuti peningkatan tekanan sistolik.
Biasanya ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda.
b. Hipertensi
campuran (Sistol dan Diastol yang Meninggi)
Yaitu
peningkatan tekanan darah pada sistol dan diastol.
c. Hipertensi
Sistolik
Yaitu
peningkatan tekanan sistolik tanpa diikuti peningkatan tekanan diastolik.
Umumnya ditemukan pada usia lanjut.
2.2.3 Klasifikasi
Hipertensi Menurut JNC-VII 2003
Klasifikasi
tekanan darah oleh JNC VII untuk pasien dewasa berdasarkan rata-rata pengukuran
dua tekanan darah atau lebih pada dua atau lebih kunjungan klinis seperti
berikut:
Kategori
tekanan darah
|
Tekanan
sistolik (mmHg)
|
Tekanan
diastolic (mmHg)
|
||
Normal
|
|
|
||
Prehipertensi
|
|
80-89
|
||
Hipertensi stadium 1
|
|
|
||
Hipertensi stadium 2
|
|
|
2.3
Etiologi
Hipertensi
Hipertensi
essensial atau idiopatik adalah hipertensi tanpa kelainan dasar patologis yang
jelas. Lebih dari 90% kasus merupakan hipertensi essensial. Penyebab hipertensi
meliputi faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik mempengaruhi kepekaan
terhadap natrium, kepekaan terhadap stress, reaktivitas pembuluh darah terhadap
vasokontriktor, resistensi insulin dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk
faktor lingkungan antara lain diet, kebiasaan merokok, stress emosi, obesitas
dan lain-lain.
Pada sebagian
besar pasien, kenaikan berat badan yang berlebihan dan gaya hidup tampaknya
memiliki peran yang utama dalam menyebabkan hipertensi. Kebanyakan pasien
hipertensi memiliki berat badan yang berlebih dan penelitian pada berbagai
populasi menunjukkan bahwa kenaikan berat badan yang berlebih (obesitas)
memberikan risiko 65-70 % untuk terkena hipertensi primer.
Hipertensi sekunder meliputi
5-10% kasus. penyebab hipertensi sekunder yaitu penyakit komorbid atau
obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah. Pada kebanyakan
kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit renovaskular
adalah penyebab sekunder yang paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara langsung
ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan
menaikkan tekanan darah.
Hipertensi yang
penyebabnya dapat diketahui, sering berhubungan dengan beberapa penyakit
misalnya ginjal, jantung koroner, diabetes dan kelainan sistem saraf pusat.
2.4
Patofisiologi
Hipertensi
Mekanisme yang
mengontrol kontriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak di pusat vasomotor
pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis yang
berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medula spinalis ke
ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan
dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke ganglia
simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin yang akan
merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan
dilepaskannya norpinefrin mengakibatkan kontriksi pembuluh darah.
Berbagai faktor
seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah
terhadap rangsangan vasokontriktor. Individu dengan hipertensi sangat sensitif
terhadap norpinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal
tersebut bisa terjadi.
Pada saat
bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respon
rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang mengakibatkan tambahan
aktivitas vasokontriksi. Korteks adrenal mengsekresikan kortisol dan steroid
lainnya yang dapat memperkuat respon vasokontriktor pembuluh darah.
Vasokontriksi yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal dapat
menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukkan angiotensin I yang
kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokontriktor kuat, yang pada
gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini
menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal sehingga menyebabkan
peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung mencetuskan
keadaan hipertensi.
Perubahaan
struktural dan fungsional pada sistem pembuluh darah perifer bertanggung jawab
pada perubahaan tekanan darah yang terjadi pada lanjut usia. Perubahaan
tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan
penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah yang menyebabkan penurunan
distensi dan daya regang pembuluh darah. Akibat hal tersebut, aorta dan arteri
besar mengalami penurunan kemampuan dalam mengakomodasi volume darah yang
dipompa oleh jantung (volume sekuncup) sehingga mengakibatkan penurunan curah
jantung dan peningkatan tahanan perifer.
2.5
Tanda
dan Gejala Hipertensi
Pada pemeriksaan
fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah yang tinggi, tetapi
dapat pula ditemukan perubahan pada retina, seperti perdarahan, eksudat,
penyempitan pembuluh darah, dan pada kasus berat dapat ditemukan edema pupil
(edema pada diskus optikus). Menurut Price, gejala hipertensi antara lain sakit
kepala bagian belakang, kaku kuduk, sulit tidur, gelisah, kepala pusing, dada
berdebar-debar, lemas, sesak nafas, berkeringat dan pusing.
Gejala-gejala
penyakit yang biasa terjadi baik pada penderita hipertensi maupun pada
seseorang dengan tekanan darah yang normal hipertensi yaitu sakit kepala,
gelisah, jantung berdebar, perdarahan hidung, sulit tidur, sesak nafas, cepat
marah, telinga berdenging, tekuk terasa berat, berdebar dan sering kencing di malam
hari. Gejala akibat komplikasi hipertensi yang pernah dijumpai meliputi
gangguan penglihatan, saraf, jantung, fungsi ginjal dan gangguan serebral
(otak) yang mengakibatkan kejang dan pendarahan pembuluh darah otak yang
mengakibatkan kelumpuhan dan gangguan kesadaran hingga koma.
Corwin
menyebutkan bahwa sebagian besar gejala klinis timbul setelah mengalami
hipertensi bertahun-tahun adalah nyeri kepala saat terjaga, kadang kadang
disertai mual dan muntah yang disebabkan peningkatan tekanan darah intracranial.
2.6 Faktor Resiko Hipertensi
2.6.1
Faktor Risiko yang Tidak Dapat diubah
a.
Usia
Usia
mempengaruhi terjadinya hipertensi. Dengan bertambahnya umur, risiko terkena
hipertensi menjadi lebih besar sehingga prevalensi hipertensi di kalangan usia
lanjut cukup tinggi, yaitu sekitar 40%, dengan kematian sekitar di atas usia 65
tahun.
Pada
usia lanjut, hipertensi terutama ditemukan hanya berupa kenaikan tekanan
sistolik. Tingginya hipertensi sejalan dengan bertambahnya umur yang disebabkan
oleh perubahaan struktur pada pembuluh darah besar, sehingga lumen menjadi
lebih sempit dan dinding pembuluh darah menjadi lebih kaku, sebagai akibatnya
terjadi peningkatan tekanan darah sistolik.
b. Jenis
Kelamin
Faktor gender berpengaruh pada
terjadinya hipertensi, dimana pria lebih banyak yang menderita hipertensi
dibandingkan wanita, dengan rasio sekitar 2,29 untuk peningkatan tekanan darah
sistolik. Pria diduga memiliki gaya hidup yang cenderung dapat meningkatkan
tekanan darah dibandingkan dengan wanita.
Namun, setelah memasuki manopause,
prevalensi hipertensi pada wanita meningkat. Setelah usia 65 tahun, terjadinya
hipertensi pada wanita lebih meningkat dibandingkan dengan pria yang
diakibatkan faktor hormonal. Penelitian di Indonesia prevalensi yang lebih
tinggi terdapat pada wanita.
Data Riskesdas (Riset Kesehatan
Dasar) menyebutkan bahwa prevalensi penderita hipertensi di Indonesia lebih
besar pada perempuan (8,6%) dibandingkan laki-laki (5,8%). Sedangkan menurut
Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan (2006), sampai umur 55 tahun,
laki-laki lebih banyak menderita hipertensi dibanding perempuan. Dari umur 55
sampai 74 tahun, sedikit lebih banyak perempuan dibanding laki-laki yang
menderita hipertensi.
c. Keturunan
(genetik)
Riwayat
keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor keturunan) juga mempertinggi
risiko terkena hipertensi, terutama pada hipertensi primer (essensial).
Tentunya faktor genetik ini juga dipenggaruhi faktor-faktor lingkungan, yang
kemudian menyebabkan seorang menderita hipertensi. Faktor genetik juga berkaitan
dengan metabolisme pengaturan garam dan renin membran sel. Menurut Davidson
bila kedua orang tuanya menderita hipertensi, maka sekitar 45% akan turun ke
anak-anaknya dan bila salah satu orang tuanya yang menderita hipertensi maka
sekitar 30% akan turun ke anak-anaknya.
2.6.2 Faktor
risiko yang Dapat diubah
a. Kegemukan
(Obesitas)
Kegemukan (obesitas) adalah
presentase abnormalitas lemak yang dinyatakan dalam Indeks Massa Tubuh (IMT)
yaitu perbandingan antara berat badan dengan tinggi badan kuadrat dalam meter. Kaitan
erat antara kelebihan berat badan dan kenaikan tekanan darah telah dilaporkan
oleh beberapa studi. Berat badan dan IMT berkorelasi langsung dengan tekanan
darah, terutama tekanan darah sistolik. Sedangkan, pada penderita hipertensi
ditemukan sekitar 20-33% memiliki berat badan lebih (overweight).
Obesitas bukanlah penyebab
hipertensi. Akan tetapi prevalensi hipertensi pada obesitas jauh lebih besar.
Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang gemuk 5 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan seorang yang badannya normal. Pada penderita hipertensi
ditemukan sekitar 20-33% memiliki berat badan lebih (overweight).
Hipertensi pada seseorang yang
kurus atau normal dapat juga disebabkan oleh sistem simpatis dan sistem renin
angiotensin. Aktivitas dari saraf simpatis adalah mengatur fungsi saraf dan
hormon, sehingga dapat meningkatkan denyut jantung, menyempitkan pembuluh
darah, dan meningkatkan retensi air dan garam.
b. Psikososial
dan Stress
Stress
atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, rasa marah, dendam, rasa takut dan
rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon
adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga
tekanan darah akan meningkat. Jika stress berlangsung lama, tubuh akan berusaha
mengadakan penyesuaian sehingga timbul kelainan organis atau perubahaan
patologis. Gejala yang muncul dapat berupa hipertensi atau penyakit maag.
Diperkirakan, prevalensi atau kejadian hipertensi pada orang kulit hitam di
Amerika Serikat lebih tinggi dibandingkan dengan orang kulit putih disebabkan
stress atau rasa tidak puas orang kulit hitam pada nasib mereka.
c. Merokok
Zat-zat
kimia beracun seperti nikotin dan karbon monoksida yang dihisap melalui rokok
yang masuk ke dalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel pembuluh darah
arteri yang mengakibatkan proses artereosklerosis dan tekanan darah tinggi.
Pada studi autopsi, dibuktikan kaitan erat antara kebiasaan merokok dengan
adanya artereosklerosis pada seluruh pembuluh darah. Merokok juga meningkatkan denyut
jantung dan kebutuhan oksigen untuk disuplai ke otot-otot jantung. Merokok pada
penderita tekanan darah tinggi semakin meningkatkan risiko kerusakan pada
pembuluh darah arteri.
Bahan
utama rokok terdiri dari 3 zat, yaitu nikotin, merupakan salah satu jenis obat
perangsang yang dapat merusak jantung dan sirkulasi darah dengan adanya
penyempitan pembuluh darah, peningkatan denyut jantung, pengerasan pembuluh darah
dan penggumpalan darah. Tar, dapat mengakibatkan kerusakan sel paru-paru dan
menyebabkan kanker. Karbon Monoksida (CO) merupakan gas beracun yang dapat
menghasilkan berkurangnya kemampuan darah membawa oksigen.
d. Konsumsi
Alkohol Berlebih
Pengaruh
alkohol terhadap kenaikan tekanan darah telah dibuktikan. Mekanisme peningkatan
tekanan darah akibat alkohol masih belum jelas. Namun, diduga peningkatan kadar
kortisol dan peningkatan volume sel darah merah serta kekentalan darah berperan
dalam menaikkan tekanan darah. Beberapa studi menunjukkan hubungan langsung
antara tekanan darah dan asupan alkohol dilaporkan menimbulkan efek terhadap
tekanan darah baru terlihat apabila mengkomsumsi alkohol sekitar 2-3 gelas
ukuran standar setiap harinya.
e. Komsumsi
Garam Berlebihan
Garam menyebabkan penumpukan cairan
dalam tubuh karena menarik cairan di luar sel agar tidak dikeluarkan, sehingga
akan meningkatkan volume dan tekanan darah. Pada sekitar 60% kasus hipertensi
primer (essensial) terjadi respon penurunan tekanan darah dengan mengurangi
asupan garam 3 gram atau kurang, ditemukan tekanan darah rata-rata rendah,
sedangkan pada masyarakat asupan garam sekitar 7-8 gram tekanan rata-rata lebih
tinggi. WHO menganjurkan bahwa komsumsi garam yang dianjurkan tidak lebih 6 gram/hari
setara 110 mmol natrium.
f. Hiperlipidemia/Hiperkolestrolemia
Kelainan
metabolisme lipid (lemak) yang ditandai dengan peningkatan kadar kolestrol
total, trigliserida, kolestrol LDL atau penurunan kadar kolestrol HDL dalam
darah. Kolestrol merupakan faktor penting dalam terjadinya aterosklerosis yang
mengakibatkan peninggian tahanan perifer pembuluh darah sehingga tekanan darah
meningkat.
2.7 Komplikasi Hipertensi
2.7.1 Stroke
Stroke
dapat timbul akibat pendarahan tekanan tinggi di otak atau akibat embolus yang
terlepas dari pembuluh otak yang terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi
pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang memperdarahi otak mengalami
hipertrofi dan menebal, sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang diperdarahi
berkurang. Arteri-arteri otak yang mengalami arterosklerosis dapat melemah
sehingga meningkatkan kemungkinan terbentuknya anurisma.
2.7.2 Infark
Miokardium
Infark
miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang arterosklerotik tidak dapat
mensuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila terbentuk trombus yang
menyumbat aliran darah melalui pembuluh tersebut. Akibat hipertensi kronik dan
hipertensi ventrikel, maka kebutuhan oksigen miokardium mungkin tidak dapat
dipenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkan infark. Demikian
juga, hipertrofi dapat menimbulkan perubahaan-perubahan waktu hantaran listrik
melintasi ventrikel sehingga terjadi distritmia, hipoksia jantung dan peningkatan
risiko pembentukan bekuan.
2.7.3 Gagal
Ginjal
Gagal
ginjal merupakan suatu keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan
irreversible dari berbagai penyebab, salah satunya pada bagian yang menuju ke
kardiovaskular. Mekanisme terjadinya hipertensi pada gagal ginjal kronik oleh
karena penimbunan garam dan air atau sistem renin angiotensin aldosteron (RAA).
2.7.4 Ensefalopati
(Kerusakan Otak)
Ensefalopati
(kerusakan otak) dapat terjadi terutama pada hipertensi maligna (hipertensi
yang meningkat cepat). Tekanan yang sangat tinggi pada kelainan ini menyebabkan
peningkatan tekanan kapiler dan mendorong ke dalam ruang intersitium diseluruh
susunan saraf pusat. Neuron-neuron disekitarnya kolaps yang dapat menyebabkan
ketulian, kebutaan dan tak jarang juga koma serta kematian mendadak.
Keterikatan antara kerusakan otak dengan hipertensi, bahwa hipertensi berisiko
4 kali terhadap kerusakan otak dibandingkan dengan orang yang tidak menderita
hipertensi.
2.8
Penatalaksanaan
Hipertensi
2.8.1 Algoritma
Hipertensi
2.8.2 Terapi
Nonfarmakologi
a. Mengatasi
Obesitas/ Menurunkan Kelebihan Berat Badan
Obesitas
harus dikendalikan dengan menurunkan berat badan (Depkes, 2006b). Beberapa
studi menunjukkan bahwa seseorang yang mempunyai kelebihan berat badan lebih
dari 20% dan hiperkolestrol mempunyai risiko yang lebih besar terkena
hipertensi.
b. Mengurangi
Asupan Garam didalam Tubuh
Nasehat
pengurangan garam harus memperhatikan kebiasaan makan penderita. Pengurangan
asupan garam secara drastis akan sulit dirasakan. Batasi sampai dengan kurang
dari 5 gram (1 sendok teh) per hari pada saat memasak.
c. Ciptakan
Keadaan Rileks
Berbagai
cara relaksasi seperti meditasi, yoga atau hipnosis dapat mengontrol sistem
saraf yang akan menurunkan tekanan darah.
d. Melakukan
Olahraga Teratur
Berolahraga
seperti senam aerobik atau jalan cepat selama 30-45 menit sebanyak 3-4 kali
dalam seminggu, diharapkan dapat menambah kebugaran dan memperbaiki metabolisme
tubuh yang akhirnya mengontrol tekanan darah.
e. Berhenti
Merokok
Merokok
dapat menambah kekakuan pembuluh darah sehingga dapat memperburuk hipertensi.
Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon monoksida yang dihisap melalui
rokok yang masuk ke dalam aliran darah dapat merusak jaringan endotel pembuluh
darah arteri yang mengakibatkan proses arterosklerosis dan peningkatan tekanan
darah. Merokok juga dapat meningkatkan denyut jantung dan kebutuhan oksigen
untuk disuplai ke otot-otot jantung. Merokok pada penderita tekanan darah
tinggi semakin meningkatkan risiko kerusakan pada pembuluh darah arteri.
f. Mengurangi
Komsumsi Alkohol
Hindari
komsumsi alkohol berlebihan. Laki-laki tidak lebih dari 2 gelas per hari dan
wanita tidak lebih dari 1 gelas per hari.
2.8.3 Terapi
Farmakologi
A. Diuretik
Diuretik bekerja meningkatkan
ekskresi natrium, air dan klorida sehingga menurunkan volume darah dan cairan
ekstraseluler. Akibatnya terjadi penurunan curah jantung dan tekanan darah.
Selain mekanisme tersebut, beberapa diuretik juga menurunkan resistensi perifer
sehingga menambah efek hipotensinya. Efek ini diduga akibat penurunan natrium
di ruang interstisial dan di dalam sel otot polos pembuluh darah yang
selanjutnya menghambat influks kalsium.
Hal ini terlihat jelas pada
diuretik tertentu seperti golongan tiazid yang menunjukkan efek hipotensif pada
dosis kecil sebelum timbulnya diuresis yang nyata. Pada pemberian kronik curah
jantung akan kembali normal, namun efek hipotensif masih tetap ada. Efek ini
diduga akibat penurunan resistensi perifer.
Penelitian-penelitian besar
membuktikan bahwa efek proteksi kardiovaskular diuretik belum terkalahkan oleh
obat lain sehingga diuretic dianjurkan untuk sebagian besar kasus hipertensi
ringan dan sedang. Bahkan bila menggunakan kombinasi dua atau lebih antihipertensi,
maka salah satunya dianjurkan diuretic.
a. Golongan
Tiazid
Terdapat
beberapa obat yang termasuk golongan tiazid antara lain hidroklorotiazid,
bendroflumetiazid, klorotiazid dan diuretik lain yang memiliki gugus
aryl-sulfonamida. Obat golongan ini bekerja dengan menghambat transport bersama
(symport) Na-Cl di tubulus distal ginjal, sehingga ekskresi Na+ dan
Cl- meningkat. Tiazid seringkali dikombinasikan dengan
antihipertensi lain karena dapat meningkatkan efektivitas antihipertensi lain
dengan mekanisme kerja yang berbeda sehingga dosisnya dapat dikurangi, tiazid
mencegah resistensi cairan oleh antihipertensi lain sehingga efek obat-obat
tersebut dapat bertahan.
b. Diuretik
Kuat (Loop Diuretics, Ceiling Diuretics)
Diuretik
kuat bekerja di ansa Henle asenden bagian epitel tebal dengan cara menghambat
kotransport Na+, K+, Cl-, menghambat resorpsi
air dan elektrolit. Mula kerjanya lebih cepat dan efek diuretiknya lebih kuat
daripada golongan tiazid. Oleh karena itu diuretik ini jarang digunakan sebagai
antihipertensi, kecuali pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau gagal
jantung.
c. Diuretik
Hemat Kalium
Amilorid,
triamteren dan spironolakton merupakan diuretik lemah. Penggunaannya terutama
dalam kombinasi dengan diuretik lain untuk mencegah hipokalemia.
B. Penghambat
Adrenergik
a. Penghambat
Adrenoreseptor Beta (β-Bloker)
Beta bloker memblok
beta-adrenoreseptor. Reseptor ini diklasifikasikan menjadi reseptor beta-1 dan
beta-2. Reseptor beta-1 terutama terdapat pada jantung sedangkan reseptor
beta-2 banyak ditemukan di paru-paru, pembuluh darah perifer dan otot lurik.
Reseptor beta-2 juga dapat ditemukan di jantung, sedangkan reseptor beta-1
dapat dijumpai pada ginjal. Reseptor beta juga dapat ditemukan di otak.
Stimulasi reseptor beta pada otak
dan perifer akan memacu penglepasan neurotransmitter yang akan meningkatkan
aktivitas sistem saraf simpatis. Stimulasi reseptor beta-1 pada nodus
sino-atrial dan miocardiak meningkatkan heart rate dan kekuatan kontraksi.
Stimulasi reseptor beta pada ginjal akan menyebabkan penglepasan renin dan
meningkatkan aktivitas sistem renin angiotensin aldosteron. Efek akhirnya
adalah peningkatan cardiac output, peningkatan tahanan perifer dan peningkatan
sodium yang diperantai aldosteron dan retensi air.
b. Penghambat
Adrenoresptor Alfa (α-Bloker)
Hanya alfa-bloker yang selektif
menghambat reseptor alfa-1 (α-1) yang digunakan sebagai antihipertensi.
Alfa-bloker non selektif kurang efektif sebagai antihipertensi karena hambatan
reseptor alfa-2 (α-2) di ujung saraf adrenergik akan meningkatkan penglepasan
norefineprin dan meningkatkan aktivitas simpatis.
Hambatan reseptor α1 menyebabkan
vasodilatasi di arteriol dan venula sehingga menurunkan resistensi perifer. Di
samping itu, venodilatasi menyebabkan aliran balik vena berkurang yang selanjutnya
menurunkan curah jantung. Venodilatasi ini dapat menyebabkan hipotensi
ortostatik terutama pada pemberian dosis awal (fenomena dosis pertama) yang
menyebabkan refleks takikardia dan peningkatan aktivitas renin plasma. Pada
pemakaian jangka penjang refleks kompensasi ini akan hilang, sedangkan efek antihipertensinya
akan bertahan.
C. Vasodilator
Obat ini bekerja langsung pada
pembuluh darah dengan relaksasi otot polos (otot pembuluh darah) yang
menurunkan resistensi dan karena itu mengurangi tekanan darah. Obat-obat ini
menyebabkan stimulasi refleks jantung, menyebabkan gejala berpacu dari
kontraksi miokard yang meningkat, nadi dan komsumsi oksigen. Efek tersebut
dapat menimbulkan angina pectoris, infark miokard atau gagal jantung pada
orang-orang yang mempunyai predisposisi. Vasodilator juga meningkatkan renin
plasma, menyebabkan resistensi natrium dan air. Efek samping yang tidak
diharapkan ini dapat dihambat oleh penggunaan bersama diuretika dan penyekat-β.
Terdapat beberapa obat yang termasuk
golongan vasodilator antara lain hidralazin, minoksidil, diakzoksid dan natrium
nitroprusid. Efek samping yang sering terjadi pada pemberian obat ini adalah
pusing dan sakit kepala.
D. Penghambat
Angiotensin Converting Enzyme (ACE-Inhibitor)
Angiotensin converting enzym
inhibitor (ACE-Inhibitor) menghambat secara kompetitif pembentukan angiotensin
II dari prekusor angitensin I yang inaktif, yang terdapat pada pembuluh darah,
ginjal, jantung, kelenjar adrenal dan otak. Selain itu, degradasi bradikinin
juga dihambat sehingga kadar bradikinin dalam darah meningkat dan berperan
dalam efek vasodilatasi ACE-Inhibitor. Vasodilatasi secara langsung akan
menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosteron akan menyebabkan
ekskresi air dan natrium.
Terdapat beberapa obat yang
termasuk golongan ACE- Inhibitor antara lain benazepril, captopril, enalapril,
fosinopril, lisinoril, moexipril, penindropil, quinapril, ramipril, trandolapril
dan tanapres.
E. Antagonis
Reseptor Angiotensin II (Angiotensin Receptor Blocker, ARB)
Reseptor Angiotensin II terdiri
dari dua kelompok besar yaitu AT1 (Angiotensin I) dan AT2 (Angiotensin II).
Reseptor AT1 terdapat terutama di otot polos pembuluh darah dan otot jantung.
Selain itu terdapat juga di ginjal, otak dan kelenjar adrenal. Reseptor AT1
memperantarai semua efek fisiologis ATII terutama yang berperan dalam
homeostatis kardiovaskular. Reseptor AT2 terdapat di medula adrenal dan mungkin
juga di SSP, hingga saat ini fungsinya belum jelas.
ARB sangat efektif menurunkan
tekanan darah pada pasien hipertensi dengan kadar renin yang tinggi seperti
hipertensi renovaskular dan hipertensi genetik, tapi kurang efektif pada
hipertensi dengan aktivitas renin yang rendah. Pada pasien hipovolemia, dosis
ARB perlu diturunkan. Pemberian ARB menurunkan tekanan darah tanpa mempengaruhi
frekuensi denyut jantung. Penghentian mendadak tidak menimbulkan hipertensi
rebound. Pemberian jangka panjang tidak mempengaruhi lipid dan glukosa darah.
Terdapat beberapa obat yang
termasuk golongan antagonis reseptor ATII antara lain kandersartan, eprosartan,
irbesartan, losartan, olmesartan, telmisartan dan valsartan.
F. Antagonis
Kalsium (Calcium Channel Blocker (CCB))
Antagonis kalsium bekerja dengan
menghambat influks ion kalsium ke dalam sel miokard, sel-sel dalam sistem
konduksi jantung dan sel-sel otot polos pembuluh darah. Efek ini akan
menurunkan kontraktilitas jantung, menekan pembentukan dan propagasi impuls
elektrik dalam jantung dan memacu aktivitas vasodilatasi, interferensi dengan
kontriksi otot polos pembuluh darah. Semua hal di atas adalah proses yang
bergantung pada ion kalsium.
Terdapat tiga kelas CCB :
dihdropiridin (nifedipin, amlodipin, veramil dan benzotiazipin (diltiazem)).
Dihidropiridin mempunyai sifat vasodilator perifer yang merupakan kerja antihipertensinya,
sedangkan verapamil dan diltiazem mempunyai efek kardiak dan digunakan untuk
menurunkan heart rate dan mencegah angina (Gormer, 2008).
G. Penghambat
Simpatis
Golongan obat ini bekerja dengan
menghambat aktifitas saraf simpatis (saraf yang bekerja saat kita
beraktivitas). Contoh obat yang termasuk dalam golongan penghambat simpatetik
adalah metildopa, klonidin dan reserpin. Efek samping yang dijumpai adalah
anemia hemolitik (kekurangan sel darah merah karena pecahnya sel darah merah),
gangguan fungsi hati dan terkadang menyebabkan penyakit hati kronis. Obat ini
jarang digunakan.
Tatalaksana hipertensi dengan obat
antihipertensi yang dianjurkan :
Tabel Obat-Obat Antihipertensi Utama (Depkes, 2006)
Terapi kombinasi
antara lain :
1. Penghambat ACE dengan diuretik
2. Penyekat reseptor angiotensin II
(ARB) dengan diuretik
3. Diuretik dan agen penahan kalium
4. Penghambat ACE dengan penghambat
kalsium
5. Penghambat reseptor beta dengan
diuretik
6. Agonis reseptor α-2 dengan diuretik
7. Penyekat α-1 dengan diuretik
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hipertensi
lebih dikenal dengan istilah penyakit tekanan darah tinggi. Batas tekanan darah
yang dapat digunakan sebagai acuan untuk menentukan normal atau tidaknya
tekanan darah adalah tekanan sistolik dan diastolik. Bedasarkan JNC (Joint
National Comitee) VII, seorang dikatakan mengalami hipertensi jika tekanan
sistolik 140 mmHg atau lebih dan diastolik 90 mmHg atau lebih.
Hipertensi
essensial atau idiopatik adalah hipertensi tanpa kelainan dasar patologis yang
jelas. Lebih dari 90% kasus merupakan hipertensi essensial. Penyebab hipertensi
meliputi faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik mempengaruhi kepekaan
terhadap natrium, kepekaan terhadap stress, reaktivitas pembuluh darah terhadap
vasokontriktor, resistensi insulin dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk
faktor lingkungan antara lain diet, kebiasaan merokok, stress emosi, obesitas
dan lain-lain.
Pada pemeriksaan
fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah yang tinggi, tetapi
dapat pula ditemukan perubahan pada retina, seperti perdarahan, eksudat,
penyempitan pembuluh darah, dan pada kasus berat dapat ditemukan edema pupil
(edema pada diskus optikus). Menurut Price, gejala hipertensi antara lain sakit
kepala bagian belakang, kaku kuduk, sulit tidur, gelisah, kepala pusing, dada
berdebar-debar, lemas, sesak nafas, berkeringat dan pusing.
DAFTAR PUSTAKA
Chung, Edward.K. 1995. Penuntun Praktis Penyakit Kardiovaskuler
Edisi III. diterjemahkan oleh Petrus Andryanto. Buku Kedokteran EGC. Jakarta
Gunawan, Lany. 2001. Hipertensi : Tekanan Darah Tinggi.
Kanisius. Yogyakarta
Lani, E. A. 2005. Hipertensi. Grameia Pustaka Utama. Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar