Senin, 29 Agustus 2016

Purpura Trombositopenia Idiopatik (PTI)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Purpura Trombositopenia Idiopatik (PTI) adalah suatu gangguan autoimun yang ditandai dengan trombositopenia yang menetap atau angka trombosit darah perifer kurang dari 150.000/µl yang disebabkan karena adanya autoantibodi yang mengikat antigen trombosit sehingga menyebabkan destruksi prematur trombosit dalam sistem retikuloendotel terutama di limfa (Behrman, 2002).
Penyakit ini ditandai dengan adanya ekstravasasi sel darah merah ke kulit dan selaput lendir dengan manifestasi berupa macula kemerahan yang tak hilang dengan penekanan. Hal ini diebabkan karena jumlah tro,bosit dalam darah kurang dari normal (Sudoyo AW, 2006). Pada anak-anak tipe PTI yang terjadi adalah tipe akut yang sering mengikuti suatu infeksi dan sembuh dengan sendirinya (self limited). Pada orang dewasa umumnya merupakan tipe kronis (Rudolph, 2002)
Insidensi pada anak antara 4,0-5,3 per 100.000. Kelainan ini dapat terjadi secara akut dan umumnya terjadi pada anak-anak dengan usia antara 2-6 tahun. Selain itu, pada 7-28 % anak-anak dengan kelainan PTI akut dapat berkembang menjadi bentuk kronik sebanyak 15-20%. Insidensi PTI kronis pada anak diperkirakan 0,46 per 100.000 anak pertahun (Behrman, 2002).
1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka penyusun dapat membuat rumusan masalah seperti berikut.
a.    Apakah yang dimaksud dengan Trombositopenia Idiopatik?
b.    Apasajakah etiologi Trombositopenia Idiopatik?
c.    Apasajakah tanda dan gejala Trombositopenia Idiopatik?
d.   Bagaimanakah patofisiologi Trombositopenia Idiopatik?
e.    Bagaimanakah pengobatan Trombositopenia Idiopatik?



1.3  Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah seperti berikut ini.
a.    Agar Mahasiswa/i dapat memahami dan mengetahui definisi trombositopenia idiopatik.
b.    Agar Mahasiswa/i dapat memahami dan mengetahui etiologi trombositopenia idiopatik.
c.    Agar Mahasiswa/i dapat memahami dan mengetahui tanda dan gejala trombositopenia idiopatik .
d.   Agar Mahasiswa/i dapat memahami dan mengetahui patofisiologi trombositopenia idiopatik.
e.    Agar Mahasiswa/i dapat memahami dan mengetahui pengobatan trombositopenia idiopatik.



















BAB II
PEMBAHASAN
2.1    Definisi Trombositopenia Idiopatik
Purpura Trombositopenia Idiopatik (PTI) adalah suatu keadaan perdarahan yang ditandai oleh timbulnya petekie atau ekimosis di kulit ataupun pada selaput lendir dan adakalanya terjadi pada berbagai jaringan dengan penurunan jumlah trombosit karena sebab yang tidak diketahui. Trombositopenia tersebut terjadi karena adanya penghancuran trombosit secara dini dalam sistem retikuloendotelial akibat adanya autoantibodi terhadap trombosit yang biasanya berasal dari Imunoglobulin G (IgG) yang bersikulasi dalam darah (Bradley, S, 2006).
Trombositopenia didefinisikan sebagai jumlah trombosit yang kurang dari 100.000/mm3. Jumlah trombosit yang rendah ini dapat merupakan akibat berkurangnya produksi atau meningkatnya penghancuran trombosit. Namun, umumnya tidak ada manifestasi klinis hingga jumlahnya kurang dari 100.000/mm3. Ekimosis yang bertambah dan perdarahan yang memanjang akibat trauma ringan terjadi pada kadar trombosit kurang dari 50.000/mm3. Sedangkan petekie merupakan manifestasi utama dengan jumlah trombosit kurang dari 30.000/mm3. Pada perdarahan mukosa, jaringan dalam, dan intrakranial jumlah trombosit kurang dari 20.000/mm3, dan hal ini membutuhkan tindakan segera untuk mencegah perdarahan dan kematian (Suhendro,dkk, 2006).

2.2    Etiologi Trombositopenia Idiopatik
2.2.1   Genetik
Sindrom PTI telah didiagnosis pada kembar monozigot dan pada beberapa keluarga diketahui adanya kecenderungan menghasilkan antibodi pada anggota keluarga yang sama. Autoantibodi ini ditemukan pada 75% pasien PTI. Peningkatan jumlah IgG terlihat di permukaan trombosit dan kecepatan destruksi trombosit pada PTI proporsional terhadap kadar yang menyerupai trombosit yang berhubungan dengan immunoglobulin. Autoantibodi dengan mudah ditemukan dalam plasma atau dalam elusi trombosit pada pasien dengan penyakit yang aktif dan jarang ditemukan pada pasien yang mengalami remisi. Hilangnya antigen-antibodi berkaitan dengan kembalinya jumlah trombosit yang normal. Masa hidup trombosit memendek pada PTI berkisar 2-3 hari sampai beberapa menit. Pasien yang trombositopenia ringan sampai sedang mempunyai masa hidup terukur yang lebih lama dibandingkan dengan pasien dengan trombositopenia berat (Behrman, 2002).

2.2.2   Non-Genetik
Selain antibodi, penyebab PTI yang lain adalah hipersplenisme, infeksi virus (demam berdarah, morbili, varisela), intoksikasi makanan atau obat (asetosal, fenibutazon, diamox, kina, sedormid) atau bahan kimia, pengaruh fisik (radiasi dan panas), kekurangan faktor pematangan (malnutrisi), DIC (misalnyapa DSS, leukemia, respiratory distress syndrome pada neonatus) (Rudolph, 2002).

2.3    Tanda dan Gejala Trombositopenia Idiopatik
Gejala dapat timbul mendadak, terutama pada anak tetapi dapat pula hanya berupa kebiruan atau epistaksis selama jangka waktu yang berbeda-beda. Tidak jarang terjadi gejala timbul setelah suatu peradangan atau infeksi saluran nafas bagian atas akut (Rudolph, 2002).
Pada PTI akut dan berat dapat timbul pula pada selaput lendir yang berisi darah atau bula hemoragik. Gejala lainnya adalah perdarahan traktur genitourinarius (menoragia dan hematuria), traktus digestivus (hematemesis dan melena), pada mata terutama pada konjungtiva dan retina, dan yang terberat namun jarang terjadi adalah perdarahan pada Sistem Saraf Pusat (SSP) berupa perdarahan subdural(Rudolph, 2002).
Pada pemeriksaan fisik, umumnya tidak banyak dijumpai kelainan, kecuali adanya petekie dan ekimosis. Pada kira-kira 20% kasus dapat dijumpai splenomegali ringan, terutama pada hipersplenisme. Dapat pula ditemukan demam ringan apabila terdapat perdarahan berat atau perdarahan traktus gastrointestinalis. Jika kehilangan darah yang banyak dapat terjadi renjatan atau syok (Rudolph, 2002).
Gambar 1. petakie dan purpura pada PTI
Kelainan PTI akut lebih sering dijumpai pada anak, jarang pada umur dewasa dengan awitan mendadak dan didahului riwayat infeksi, terutama penyakit saluran nafas yang disebabkan oleh virus. Virus yang paling banyak diidentifikasi adalah Varisella zoster dan Eibstein barr. Manifestasi perdarahan PTI akut pada anak biasanya ringan, perdarahan intrakranial terjadi kurang dari 1% pasien. Penyakit akut pada anak biasanya self limiting, remisi spontan terjadi pada 90% pasien, 60% pasien sembuh dalam 4-6 minggu dan lebih dari 90% sembuh alam 3-6 bulan (Behrman, 2002).
Kelainan PTI kronis jarang terjadi pada anak, insidensi tertinggi diperkirakan terjadi pada wanita berusia 15-50 tahun. Penyakit ini biasa ditemukan terkait dengan penyakit lain seperti lupus eritematosus sistemik (SLE), infeksi HIV/AIDS, leukemia limfositik kronis (CLL), penyakit Hodgkin, dan anemia hemolitik autoimun.
Secara umum hubungan antara jumlah trombosit dengan gejala antara lain bila pasien dengan AT > 50.000/µl biasanya asimptmatik, AT 30.000-50.000/µl terdapat luka memar atau hematom, AT 10.000-30.000/µl terdapat perdarahan spontan, menoragia, dan perdarahan memanjang apabila terdapat luka. AT < 10.000/µl terjadi perdarahan mukosa (epistaksis, perdarahan gastrointesitinal, dan genitourinaria) dan risiko perdarahan sistem saraf pusat (Behrman, 2002).
2.4    Patofisiologi Trombositopenia Idiopatik
Gambar 2. Patofisiologi PTI
Sindrom PTI disebabkan oleh antibodi trombosit spesifik yang berikatan dengan trombosit autolog kemudian dengan cepat dibersihkan dari sirkulasi oleh sistem fagosit mononuklir melalaui reseptor Fc makrofag. Trombosit yang diselimuti oleh antibodi IgG akan mengalami percepatan pembersihan di lien dan di hati setelah berikatan dengan reseptor Fcg yang diekspresikan oleh makrofag jaringan (Behrman, 2002).
Pada sebagian besar pasien, akan terjadi mekanisme kompensasi dengan peningkatan produksi trombosit. Pada sebagian kecil yang lain, produksi trombosit akan terganggu, sebagian akibat destruksi trombosit yang diselimuti antibodi oleh makrofag di dalam sumsum tulang (intramedullary), sebagian karena adanya hambatan pembentukan megakariosit (megacaryocytopoiesis), kadar trombopoietin tidak meningkat, menunjukkan adanya masa megakariosit yang normal (Behrman, 2002).
Antigen pertama yang berhasil diidentifikasi berasal dari kegagalan antibodi PTI untuk berikatan dengan trombosit yang secara genetik kekurangan kompleks glikoprotein Iib/IIIa. Kemudian berhasil diidentifikasi antibodi yang bereaksi dengan glikoprotein Ib/IX, Ia/Iia, IV dan V dan determinan trombosit yang lain, serta ditemukan beberapa antiobodi yang bereaksi dengan berbagai antigen yang berbeda. Destruksi trombosit dalam sel penyaji antigen yang diperkirakan dipicu oleh antibodi akan menimbulkan pacuan pembentukan neoantigen yang berakibat produksi antibodi yang cukup untuk menimbulkan trombositopeni (Behrman, 2002).
Secara alamiah, antibodi terhadap kompleks glikoprotein Iib/IIIa memperlihatkan restriksi penggunaan rantai ringan, sedangkan antibodi yang berasal dari display phage menunjukkan penggunaan gen VH. Pelacakan pada daerah yang berikatan dengan antigen dari antigen-antibodi ini menunjukkan bahwa antibodi tersebut berasal dari klon sel B yang mengalami seleksi afinitas yang diperantarai antigen dan melalui mutasi antibody (Behrman, 2002).
Pasien PTI dewasa sering menunjukkan peningkatan jumlah HLA-DR + T cells, peningkatan jumlah reseptor interleukin 2, dan peningkatan profil sitokin yang menunjukkan aktivasi antibodi sel T helper dan sel T helper tipe 1. Pada pasien-pasien ini, sel T akan merangsang sintesis antibody setelah terpapar fragmen glikoprotein Iib/IIIa tetapi bukan karena terpapar oleh protein alami. Penurunan epitop kriptik ini secara in vivo dan alasan aktivasi sel T yang bertahan lama tidak diketahui dengan pasti (Behrman, 2002).
Pada umumnya, faktor yang memicu produksi antibodi tidak diketahui. Kebanyakan pasien mempunyai antibodi terhadap glikoprotein pada permukaan trombosit pada saat penyakit terdiagnosis secara klinis. Pada awalnya glikoprotein Iib/IIIa dikenali oleh antibodi, sedangkan antibodi yang mengenali glikoprotein Ib/IX belum terbentuk pada tahap ini. Trombosit yang diselimuti antibody akan berikatan dengan sel penyaji antigen (makrofag atau sel dendritik) melalui reseptor Fcg kemudian mengalami proses internalisasi dan degradasi. Sel penyaji antigen tidak hanya merusak glikoprotein Iib/IIIa, tetapi juga memproduksi epitop kriptik dari glikoprotein trombosit yang lain. Sel penyaji antigen yang teraktivasi akan mengekspresikan peptide baru pada permukaan sel dengan bantuan kostimulasi (yang ditunjukkan oleh interaksi antara CD 154 dan CD 40) dan sitokin yang berfungsi memfasilitasi proliferasi inisiasi CD4-positif T cell clone (T-cell clone-1) dan spesifitas tambahan (T-cell clone-2). Reseptor immunoglobulin sel B yang mengenali antigen trombosit (B-cell clone-2) dengan demikian akan menginduksi proliferasi dan sintesis antiglikoprotein Ib/IX antibody  dan juga meningkatkan produksi anti-glikoprotein Iib/IIIa antobodi oleh B-cell clone-2 (Behrman, 2002).
2.5    Pengobatan Trombositopenia Idiopatik
Pada dasarnya, metode yang saat ini digunakan untuk penatalaksanaan PTI diarahkan secara langsung pada berbagai aspek berbeda dari lingkaran produksi antibody dan sensitisasi, klirens, dan produksi trombosit.  Umumnya, obat yang dipakai pada awal PTI menghambat terjadinya klirens antibody yang menyelimuti trombosit oleh ekspresi reseptor FcG pada makrofag jaringan. Splenektomi sedikitnya bekerja pada sebagian kecil mekanisme ini, namun dapat juga mengganggu interaksi sel T dan sel B yang terlibat dalam sintesis antibody pada beberapa pasien (Behrman, 2002).
Kortikosteroid dapat meningkatkan produksi trombosit dengan cara menghalangi kemampuan sumsum tulang untuk menghancurkan trombosit, sedangkan trombopoietin berperan merangsang progenitor megakariosit. Beberapa imunosupresan nonspesifik seperti azathiorin dan siklosforin bekerja pada tingkat sel T. Antibody monoclonal terhadap CD 154 yang saat in menjadi target uji klinik merupakan kostimulasi molekul yang diperlukan untuk mengoptimalkan sell T makrofag (Behrman, 2002).
Immunoglobulin IV mengandung antiidiopatik antibody yang dapat menghambat produksi antibody. Antobodi monoclonal yang mengenali ekspresi CD20 pada sel-sel B juga masih dalam penelitian. Plasmafaresis dapat mengeluarkan antibody sementara dari dalam plasma. Transfusi trombosit diperlukan pada kondisi darurat untuk terapi perdarahan (Behrman, 2002).
Gambar 3. Mekanisme Pengobatan pada PTI

2.5.1   Pengobatan PTI akut
a.    Tanpa pengobatan, karena dapat sembuh secara spontan (Bradley S, 2006)
b.    Pada keadaan yang berat, dapat diberikan kortikosteroid (prednisone) peroral dengan atau tanpa transfusi darah. Bila setelah dua minggu tanpa pengobatan belum terlihat tanda kenaikan jumlah trombosit, dapat dianjurkan pemberian kortikosteroid, karena biasanya perjalanan penyakit sudah menjurus kepada PTI menahun (Bradley S, 2006). Terapi awal PTI dengan prednisone atau prednisolon dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB/hari selama 2 minggu. Respon terapi terjadi dalam 2 minggu dan pada umumnya terjadi pada minggu pertama, bila respons baik kortikosteroid dilanjutkan sampai 1 bulan, kemudia tapering off. Kriteria respon awal adalah peningkatan AT (Angka Trombosit) < 30.000/mL, AT > 50.000/µL setelah 10 hari terapi awal, terhentinya perdarahan. Tidak berespons bila peningkatan AT < 30.000/µL, AT < 50.000/ µL setelah terapi 10 hari. respons menetap bila AT > 50.000/ µL setelah 6 bulan follow up. Pasien yang simtomatik persisten dan trombositopenia berat (AT < 10.000/ µL) setelah mendapat terapi prednisone perlu dipertimbangkan untuk splenektomi. Sebagian besar trombositopenia akan kambuh jika prednisone benar-benar dihentikan, sehingga tujuan pengobatannya adalah untuk menemukan juga dosis prednisone yang tepat dan dapat mempertahankan jumlah platelet yang memadai
c.    Pada trombositopenia yang disebabkan oleh DIC, dapat diberikan heparin intravena. Pada pemberian heparin ini sebaiknya selalu disiapkan antidotumnya, yaitu protamin sulfat (Bradley S, 2006)
d.   Bila keadaan sangat gawat, yaitu terjadinya perdarahan otak, hendaknya diberikan transfusi suspensi trombosit (Bradley S, 2006)
e.    Apabila terjadi perdarahan internal saat AT < 5.000/ µL meskipun telah mendapat terapi kortikosteroid dalam beberapa hari atau apabila terjadinya purpura yang progresif, maka pemberian immunoglobulin intravena (IgIV) dosis 1g/kgB/hari selama 2-3 hari berturut-turut dapat dipertimbangkan. Hampir 80% pasien berespon baik dengan cepat meningkatakan AT. Efek samping yang terjadi yaitu gagal ginjal dan insufisiensi paru serta syok anafilaktik, hal ini dapat terjadi pada pasien yang mempunyai defisiensi IgA kongenital. Mekanisme kerja IgIV masih belum banyak diketahui, tetapi diduga melibatkan blockade Fc reseptor, anti-idiotype antibodies pada IgIV yang menghambat ikatan autoantibodi dengan trombosit yang bersirkulasi dan imunosupresi.

2.5.2   Pengobatan PTI menahun
a.    Kortikosteroid diberikan selama enam bulan (Bradley S, 2006)
Untuk pasien dengan terapi standar kortikosteroid yang tidak membaik, terdapat beberapa pilihan terapi lainnya. Steroid dosis tinggi merupakan terapi pada pasien PTI refrakter, selain prednisolon dapat digunakan deksametason oral dosis tinggi. Deksametason 40 mg/hari selama 4 hari diulang setiap 28 hari untuk 6 siklus. Pasien yang tidak berespon dengan deksametason dosis tinggi segera diganti obat lainnya. Steroid parenteral seperti metilprednisoslon digunakan sebagai terapi lini kedua dan ketiga pada PTI refrakter. Metilprednisolon dosis tinggi dapat diberikan pada PTI anak dan dewasa yang resisten terhadap terapi prednison dosis konvensional. Dosis yang digunakan 30 mg/kg IV kemudian diturunkan tiap 3 hari sampai 1 mg/kgBB sekali sehari. Respon steroid intravena bersifat sementara pada semua pasien dan memerlukan steroid oral untuk menjaga agar AT tetap adekuat (Behrman, 2002).

b.    Obat imunosupresif, misalnya 6-merkaptopurin, azatioprin, siklofosfamid dapat diberikan. Pemberian golongan ini didasarkan atas adanya peranan proses imunologis pada PTI menahun (Bradley S, 2006).

c.    Splenektomi dianjurkan bila tidak diperoleh hasil dengan penambahan imunosupresif selama 2-3 bulan. Kasus seperti ini dianggap telah resisten terhadap prednisone dan obat imunosupresif, hal ini sebagai akibat produksi antibodi terhadap trombosit yang berlebihan oleh limpa. Splenektomi seharusnya dikerjakan dalam waktu satu tahun sejak permulaan timbulnya penyakit, karena akan memberikan angka remisi sebesar 60-80%. Jika terlambat hanya akan memberikan remisi sebesar 50% (Behrman, 2002).
Indikasi splenektomi adalah (Behrman, 2002):
1)   Resisten setelah pemberian kombinasi kortikosteroid dan obat imunosupresif selama 2-3 bulan
2)   Remisi spontan tidak terjadi dalam waktu enam bulan pemberian kortikosteroid saja dengan gambaran klinis sedang sampai berat
3)   Penderita yang menunjukkan respons terhadap kortikosteroid namun memerlukan dosis yang tinggi untuk mempertahankan keadaan klinis yang baik tanpa adanya perdarahan






BAB III
PENUTUP
3.1  Simpulan
Purpura trombositopeni idiopatik (PTI) adalah suatu keadaan perdarahan yang disifatkan oleh timbulnya petekie atau ekimosis di kulit ataupun pada selaput lendir dan adakalanya terjadi pada berbagai jaringan dengan penurunan jumlah trombosit karena sebab yang tidak diketahui. Klasifikasi PTI berdasarkan gambaran klinisnya dibagi menjadi tiga, yaitu PTI akut, merupakan PTI yang terjadi kurang dari 6 bulan, PTI kronis, merupakan PTI yang terjadi lebih dari 6 bulan atau lebih dan Refractory, merupakan bentuk PTI yang persisten walaupun telah diberikan pengobatan steroid yang adekuat dan splenektomi.
Penatalaksanaannya didasarkan pada klasifikasinya, yaitu pada PTI akut tanpa pengobatan, karena dapat sembuh secara spontan, Kortikosteroid, Heparin intravena. Bila keadaan sangat gawat dapat diberikan transfusi suspensi trombosit. Apabila terdapat perdarahan internal, dapat diberikan IgIV. Pada PTI kronis diberikan Kortikosteroid selama enam bulan, obat imunosupresif, misalnya 6-merkaptopurin, azatioprin, siklofosfamid dan Splenektomi.









DAFTAR PUSTAKA
Behrman, Kliegman et.al. 2002. Idiophatic Thrombositopenia Purpura 17th edition. Nelson Ilmu Kesehatan Anak EGC. Jakarta.
Bradley S, Marino, Katie dkk. 2006. Blueprints Pediatrics Edisi ke-3. Mc Millan.
Rudolph, Robert, K, Kamei, Kim J. 2002. Overby Rudolph's Fundamentals Of Pediatrics Edisi ke-3.
Sudoyo, AW, Setiyohadi, B, Alwi, I, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid Ke-2 Edisi Ke-4. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta.

Suhendro, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar