BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Purpura
Trombositopenia Idiopatik (PTI) adalah suatu gangguan autoimun yang ditandai
dengan trombositopenia yang menetap atau angka trombosit darah perifer kurang
dari 150.000/µl yang disebabkan karena adanya autoantibodi yang mengikat
antigen trombosit sehingga menyebabkan destruksi prematur trombosit dalam
sistem retikuloendotel terutama di limfa (Behrman, 2002).
Penyakit ini
ditandai dengan adanya ekstravasasi sel darah merah ke kulit dan selaput lendir
dengan manifestasi berupa macula kemerahan yang tak hilang dengan penekanan.
Hal ini diebabkan karena jumlah tro,bosit dalam darah kurang dari normal (Sudoyo AW, 2006). Pada anak-anak tipe PTI yang terjadi adalah tipe akut yang
sering mengikuti suatu infeksi dan sembuh dengan sendirinya (self limited). Pada orang dewasa umumnya
merupakan tipe kronis (Rudolph, 2002)
Insidensi pada
anak antara 4,0-5,3 per 100.000. Kelainan ini dapat terjadi secara akut dan
umumnya terjadi pada anak-anak dengan usia antara 2-6 tahun. Selain itu, pada
7-28 % anak-anak dengan kelainan PTI akut dapat berkembang menjadi bentuk
kronik sebanyak 15-20%. Insidensi PTI kronis pada anak diperkirakan 0,46 per
100.000 anak pertahun (Behrman, 2002).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas
maka penyusun dapat membuat rumusan masalah seperti berikut.
a.
Apakah yang dimaksud dengan Trombositopenia
Idiopatik?
b.
Apasajakah etiologi Trombositopenia
Idiopatik?
c.
Apasajakah tanda dan gejala Trombositopenia
Idiopatik?
d.
Bagaimanakah patofisiologi Trombositopenia
Idiopatik?
e.
Bagaimanakah pengobatan Trombositopenia
Idiopatik?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah seperti berikut ini.
a.
Agar Mahasiswa/i dapat memahami dan mengetahui definisi
trombositopenia idiopatik.
b.
Agar Mahasiswa/i dapat memahami dan mengetahui
etiologi trombositopenia idiopatik.
c.
Agar Mahasiswa/i dapat memahami dan mengetahui
tanda dan gejala trombositopenia idiopatik .
d.
Agar Mahasiswa/i dapat memahami dan mengetahui patofisiologi
trombositopenia idiopatik.
e.
Agar Mahasiswa/i dapat memahami dan mengetahui
pengobatan trombositopenia idiopatik.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Definisi Trombositopenia
Idiopatik
Purpura Trombositopenia
Idiopatik (PTI) adalah suatu keadaan perdarahan yang ditandai oleh timbulnya petekie atau
ekimosis di kulit ataupun pada selaput lendir dan adakalanya terjadi pada
berbagai jaringan dengan penurunan jumlah trombosit karena sebab yang tidak
diketahui. Trombositopenia tersebut terjadi karena adanya penghancuran
trombosit secara dini dalam sistem retikuloendotelial akibat adanya
autoantibodi terhadap trombosit yang biasanya berasal dari Imunoglobulin G (IgG)
yang bersikulasi dalam darah (Bradley, S, 2006).
Trombositopenia
didefinisikan sebagai jumlah trombosit yang kurang dari 100.000/mm3.
Jumlah trombosit yang rendah ini dapat merupakan akibat berkurangnya produksi
atau meningkatnya penghancuran trombosit. Namun, umumnya tidak ada manifestasi
klinis hingga jumlahnya kurang dari 100.000/mm3. Ekimosis yang
bertambah dan perdarahan yang memanjang akibat trauma ringan terjadi pada kadar
trombosit kurang dari 50.000/mm3. Sedangkan petekie merupakan
manifestasi utama dengan jumlah trombosit kurang dari 30.000/mm3.
Pada perdarahan mukosa, jaringan dalam, dan intrakranial jumlah trombosit kurang
dari 20.000/mm3, dan hal ini membutuhkan tindakan segera untuk mencegah
perdarahan dan kematian (Suhendro,dkk, 2006).
2.2
Etiologi Trombositopenia
Idiopatik
2.2.1
Genetik
Sindrom PTI telah didiagnosis pada kembar monozigot dan pada
beberapa keluarga diketahui adanya kecenderungan menghasilkan antibodi pada
anggota keluarga yang sama. Autoantibodi ini ditemukan pada 75% pasien PTI.
Peningkatan jumlah IgG terlihat di permukaan trombosit dan kecepatan destruksi
trombosit pada PTI proporsional terhadap kadar yang menyerupai trombosit yang
berhubungan dengan immunoglobulin. Autoantibodi dengan mudah ditemukan dalam
plasma atau dalam elusi trombosit pada pasien dengan penyakit yang aktif dan
jarang ditemukan pada pasien yang mengalami remisi. Hilangnya antigen-antibodi
berkaitan dengan kembalinya jumlah trombosit yang normal. Masa hidup trombosit
memendek pada PTI berkisar 2-3 hari sampai beberapa menit. Pasien yang
trombositopenia ringan sampai sedang mempunyai masa hidup terukur yang lebih
lama dibandingkan dengan pasien dengan trombositopenia berat (Behrman, 2002).
2.2.2
Non-Genetik
Selain antibodi, penyebab PTI yang lain adalah
hipersplenisme, infeksi virus (demam berdarah, morbili, varisela), intoksikasi
makanan atau obat (asetosal, fenibutazon, diamox, kina, sedormid) atau bahan
kimia, pengaruh fisik (radiasi dan panas), kekurangan faktor pematangan
(malnutrisi), DIC (misalnyapa DSS, leukemia, respiratory distress syndrome pada neonatus) (Rudolph,
2002).
2.3
Tanda dan Gejala Trombositopenia
Idiopatik
Gejala dapat timbul mendadak,
terutama pada anak tetapi dapat pula hanya berupa kebiruan atau epistaksis
selama jangka waktu yang berbeda-beda. Tidak jarang terjadi gejala timbul
setelah suatu peradangan atau infeksi saluran nafas bagian atas akut (Rudolph, 2002).
Pada PTI akut dan berat
dapat timbul pula pada selaput lendir yang berisi darah atau bula hemoragik.
Gejala lainnya adalah perdarahan traktur genitourinarius (menoragia dan
hematuria), traktus digestivus (hematemesis dan melena), pada mata terutama
pada konjungtiva dan retina, dan yang terberat namun jarang terjadi adalah
perdarahan pada Sistem Saraf Pusat (SSP) berupa perdarahan subdural(Rudolph, 2002).
Pada pemeriksaan fisik, umumnya tidak banyak dijumpai
kelainan, kecuali adanya petekie dan ekimosis. Pada kira-kira 20% kasus dapat
dijumpai splenomegali ringan, terutama pada hipersplenisme. Dapat pula
ditemukan demam ringan apabila terdapat perdarahan berat atau perdarahan
traktus gastrointestinalis. Jika kehilangan darah yang banyak dapat terjadi
renjatan atau syok (Rudolph, 2002).
Gambar 1. petakie
dan purpura pada PTI
Kelainan PTI akut lebih
sering dijumpai pada anak, jarang pada umur dewasa dengan awitan mendadak dan
didahului riwayat infeksi, terutama penyakit saluran nafas yang disebabkan oleh
virus. Virus yang paling banyak diidentifikasi adalah Varisella zoster dan Eibstein
barr. Manifestasi perdarahan PTI akut pada anak biasanya ringan, perdarahan
intrakranial terjadi kurang dari 1% pasien. Penyakit akut pada anak biasanya self limiting, remisi spontan terjadi pada
90% pasien, 60% pasien sembuh dalam 4-6 minggu dan lebih dari 90% sembuh alam
3-6 bulan (Behrman, 2002).
Kelainan PTI kronis jarang
terjadi pada anak, insidensi tertinggi diperkirakan terjadi pada wanita berusia
15-50 tahun. Penyakit ini biasa ditemukan terkait dengan penyakit lain seperti
lupus eritematosus sistemik (SLE), infeksi HIV/AIDS, leukemia limfositik kronis
(CLL), penyakit Hodgkin, dan anemia hemolitik autoimun.
Secara umum hubungan antara
jumlah trombosit dengan gejala antara lain bila pasien dengan AT > 50.000/µl
biasanya asimptmatik, AT 30.000-50.000/µl terdapat luka memar atau hematom, AT
10.000-30.000/µl terdapat perdarahan spontan, menoragia, dan perdarahan
memanjang apabila terdapat luka. AT < 10.000/µl terjadi perdarahan mukosa
(epistaksis, perdarahan gastrointesitinal, dan genitourinaria) dan risiko
perdarahan sistem saraf pusat (Behrman, 2002).
2.4
Patofisiologi Trombositopenia
Idiopatik
Gambar 2. Patofisiologi PTI
Sindrom PTI disebabkan oleh antibodi
trombosit spesifik yang berikatan dengan trombosit autolog kemudian dengan
cepat dibersihkan dari sirkulasi oleh sistem fagosit mononuklir melalaui
reseptor Fc makrofag. Trombosit yang diselimuti oleh antibodi IgG akan
mengalami percepatan pembersihan di lien dan di hati setelah berikatan dengan
reseptor Fcg yang diekspresikan oleh makrofag jaringan (Behrman, 2002).
Pada sebagian besar pasien,
akan terjadi mekanisme kompensasi dengan peningkatan produksi trombosit. Pada
sebagian kecil yang lain, produksi trombosit akan terganggu, sebagian akibat
destruksi trombosit yang diselimuti antibodi oleh makrofag di dalam sumsum
tulang (intramedullary), sebagian
karena adanya hambatan pembentukan megakariosit (megacaryocytopoiesis), kadar trombopoietin tidak meningkat,
menunjukkan adanya masa megakariosit yang normal (Behrman, 2002).
Antigen pertama yang
berhasil diidentifikasi berasal dari kegagalan antibodi PTI untuk berikatan
dengan trombosit yang secara genetik kekurangan kompleks glikoprotein Iib/IIIa.
Kemudian berhasil diidentifikasi antibodi yang bereaksi dengan glikoprotein
Ib/IX, Ia/Iia, IV dan V dan determinan trombosit yang lain, serta ditemukan
beberapa antiobodi yang bereaksi dengan berbagai antigen yang berbeda.
Destruksi trombosit dalam sel penyaji antigen yang diperkirakan dipicu oleh antibodi
akan menimbulkan pacuan pembentukan neoantigen yang berakibat produksi antibodi
yang cukup untuk menimbulkan trombositopeni (Behrman, 2002).
Secara alamiah, antibodi
terhadap kompleks glikoprotein Iib/IIIa memperlihatkan restriksi penggunaan
rantai ringan, sedangkan antibodi yang berasal dari display phage menunjukkan penggunaan gen VH. Pelacakan
pada daerah yang berikatan dengan antigen dari antigen-antibodi ini menunjukkan
bahwa antibodi tersebut berasal dari klon sel B yang mengalami seleksi afinitas
yang diperantarai antigen dan melalui mutasi antibody (Behrman, 2002).
Pasien PTI dewasa sering
menunjukkan peningkatan jumlah HLA-DR + T cells, peningkatan jumlah reseptor
interleukin 2, dan peningkatan profil sitokin yang menunjukkan aktivasi antibodi
sel T helper dan sel T helper tipe 1. Pada pasien-pasien ini, sel T akan
merangsang sintesis antibody setelah terpapar fragmen glikoprotein Iib/IIIa
tetapi bukan karena terpapar oleh protein alami. Penurunan epitop kriptik ini
secara in vivo dan alasan aktivasi
sel T yang bertahan lama tidak diketahui dengan pasti (Behrman, 2002).
Pada umumnya, faktor yang
memicu produksi antibodi tidak diketahui. Kebanyakan pasien mempunyai antibodi
terhadap glikoprotein pada permukaan trombosit pada saat penyakit terdiagnosis
secara klinis. Pada awalnya glikoprotein Iib/IIIa dikenali oleh antibodi,
sedangkan antibodi yang mengenali glikoprotein Ib/IX belum terbentuk pada tahap
ini. Trombosit yang diselimuti antibody akan berikatan dengan sel penyaji
antigen (makrofag atau sel dendritik) melalui reseptor Fcg kemudian mengalami
proses internalisasi dan degradasi. Sel penyaji antigen tidak hanya merusak
glikoprotein Iib/IIIa, tetapi juga memproduksi epitop kriptik dari glikoprotein
trombosit yang lain. Sel penyaji antigen yang teraktivasi akan mengekspresikan
peptide baru pada permukaan sel dengan bantuan kostimulasi (yang ditunjukkan
oleh interaksi antara CD 154 dan CD 40) dan sitokin yang berfungsi
memfasilitasi proliferasi inisiasi CD4-positif T cell clone (T-cell clone-1)
dan spesifitas tambahan (T-cell clone-2).
Reseptor immunoglobulin sel B yang mengenali antigen trombosit (B-cell clone-2) dengan demikian akan
menginduksi proliferasi dan sintesis antiglikoprotein Ib/IX antibody dan juga meningkatkan produksi anti-glikoprotein
Iib/IIIa antobodi oleh B-cell clone-2
(Behrman, 2002).
2.5
Pengobatan Trombositopenia
Idiopatik
Pada dasarnya, metode yang
saat ini digunakan untuk penatalaksanaan PTI diarahkan secara langsung pada
berbagai aspek berbeda dari lingkaran produksi antibody dan sensitisasi,
klirens, dan produksi trombosit.
Umumnya, obat yang dipakai pada awal PTI menghambat terjadinya klirens
antibody yang menyelimuti trombosit oleh ekspresi reseptor FcG pada makrofag
jaringan. Splenektomi sedikitnya bekerja pada sebagian kecil mekanisme ini,
namun dapat juga mengganggu interaksi sel T dan sel B yang terlibat dalam
sintesis antibody pada beberapa pasien (Behrman, 2002).
Kortikosteroid dapat
meningkatkan produksi trombosit dengan cara menghalangi kemampuan sumsum tulang
untuk menghancurkan trombosit, sedangkan trombopoietin berperan merangsang
progenitor megakariosit. Beberapa imunosupresan nonspesifik seperti azathiorin
dan siklosforin bekerja pada tingkat sel T. Antibody monoclonal terhadap CD 154
yang saat in menjadi target uji klinik merupakan kostimulasi molekul yang
diperlukan untuk mengoptimalkan sell T makrofag (Behrman, 2002).
Immunoglobulin IV mengandung
antiidiopatik antibody yang dapat menghambat produksi antibody. Antobodi monoclonal
yang mengenali ekspresi CD20 pada sel-sel B juga masih dalam
penelitian. Plasmafaresis dapat mengeluarkan antibody sementara dari dalam
plasma. Transfusi trombosit diperlukan pada kondisi darurat untuk terapi
perdarahan (Behrman, 2002).
Gambar 3. Mekanisme Pengobatan pada PTI
2.5.1
Pengobatan PTI akut
a.
Tanpa pengobatan, karena dapat sembuh secara spontan (Bradley S, 2006)
b.
Pada keadaan yang berat, dapat diberikan kortikosteroid (prednisone) peroral dengan atau tanpa
transfusi darah. Bila setelah dua minggu tanpa pengobatan belum terlihat tanda
kenaikan jumlah trombosit, dapat dianjurkan pemberian kortikosteroid, karena
biasanya perjalanan penyakit sudah menjurus kepada PTI menahun (Bradley S, 2006). Terapi awal PTI dengan prednisone atau prednisolon
dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB/hari selama 2 minggu. Respon terapi terjadi dalam 2
minggu dan pada umumnya terjadi pada minggu pertama, bila respons baik
kortikosteroid dilanjutkan sampai 1 bulan, kemudia tapering off. Kriteria respon awal adalah peningkatan AT (Angka
Trombosit) < 30.000/mL, AT > 50.000/µL setelah 10 hari terapi awal,
terhentinya perdarahan. Tidak berespons bila peningkatan AT < 30.000/µL, AT
< 50.000/ µL setelah terapi 10 hari. respons menetap bila AT > 50.000/ µL
setelah 6 bulan follow up. Pasien
yang simtomatik persisten dan trombositopenia berat (AT < 10.000/ µL)
setelah mendapat terapi prednisone perlu dipertimbangkan untuk splenektomi.
Sebagian besar trombositopenia akan kambuh jika prednisone benar-benar
dihentikan, sehingga tujuan pengobatannya adalah untuk menemukan juga dosis prednisone
yang tepat dan dapat mempertahankan jumlah platelet yang memadai
c.
Pada trombositopenia yang disebabkan oleh DIC, dapat
diberikan heparin intravena. Pada pemberian heparin ini sebaiknya selalu
disiapkan antidotumnya, yaitu protamin sulfat (Bradley S,
2006)
d.
Bila keadaan sangat gawat, yaitu terjadinya perdarahan otak,
hendaknya diberikan transfusi suspensi trombosit (Bradley S,
2006)
e.
Apabila terjadi perdarahan internal saat AT < 5.000/ µL
meskipun telah mendapat terapi kortikosteroid dalam beberapa hari atau apabila
terjadinya purpura yang progresif, maka pemberian immunoglobulin intravena
(IgIV) dosis 1g/kgB/hari selama 2-3 hari berturut-turut dapat dipertimbangkan.
Hampir 80% pasien berespon baik dengan cepat meningkatakan AT. Efek samping
yang terjadi yaitu gagal ginjal dan insufisiensi paru serta syok anafilaktik,
hal ini dapat terjadi pada pasien yang mempunyai defisiensi IgA kongenital.
Mekanisme kerja IgIV masih belum banyak diketahui, tetapi diduga melibatkan blockade Fc reseptor, anti-idiotype antibodies pada IgIV yang
menghambat ikatan autoantibodi dengan trombosit yang bersirkulasi dan
imunosupresi.
2.5.2
Pengobatan PTI menahun
a.
Kortikosteroid diberikan selama enam bulan (Bradley S, 2006)
Untuk pasien dengan terapi standar kortikosteroid yang tidak
membaik, terdapat beberapa pilihan terapi lainnya. Steroid dosis tinggi
merupakan terapi pada pasien PTI refrakter, selain prednisolon dapat digunakan
deksametason oral dosis tinggi. Deksametason 40 mg/hari selama 4 hari diulang
setiap 28 hari untuk 6 siklus. Pasien yang tidak berespon dengan deksametason
dosis tinggi segera diganti obat lainnya. Steroid parenteral seperti
metilprednisoslon digunakan sebagai terapi lini kedua dan ketiga pada PTI
refrakter. Metilprednisolon dosis tinggi dapat diberikan pada PTI anak dan
dewasa yang resisten terhadap terapi prednison dosis konvensional. Dosis yang
digunakan 30 mg/kg IV kemudian diturunkan tiap 3 hari sampai 1 mg/kgBB sekali
sehari. Respon steroid intravena bersifat sementara pada semua pasien dan
memerlukan steroid oral untuk menjaga agar AT tetap adekuat (Behrman, 2002).
b.
Obat imunosupresif, misalnya 6-merkaptopurin, azatioprin,
siklofosfamid dapat diberikan. Pemberian golongan ini didasarkan atas adanya
peranan proses imunologis pada PTI menahun (Bradley S,
2006).
c.
Splenektomi dianjurkan bila tidak diperoleh hasil dengan
penambahan imunosupresif selama 2-3 bulan. Kasus seperti ini dianggap telah
resisten terhadap prednisone dan obat imunosupresif, hal ini sebagai akibat
produksi antibodi terhadap trombosit yang berlebihan oleh limpa. Splenektomi
seharusnya dikerjakan dalam waktu satu tahun sejak permulaan timbulnya
penyakit, karena akan memberikan angka remisi sebesar 60-80%. Jika terlambat
hanya akan memberikan remisi sebesar 50% (Behrman, 2002).
Indikasi splenektomi adalah (Behrman, 2002):
1)
Resisten setelah pemberian kombinasi kortikosteroid dan obat
imunosupresif selama 2-3 bulan
2)
Remisi spontan tidak terjadi dalam waktu enam bulan pemberian
kortikosteroid saja dengan gambaran klinis sedang sampai berat
3)
Penderita yang menunjukkan respons terhadap kortikosteroid
namun memerlukan dosis yang tinggi untuk mempertahankan keadaan klinis yang
baik tanpa adanya perdarahan
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Purpura
trombositopeni idiopatik (PTI) adalah suatu keadaan perdarahan yang disifatkan
oleh timbulnya petekie atau ekimosis di kulit ataupun pada selaput lendir dan
adakalanya terjadi pada berbagai jaringan dengan penurunan jumlah trombosit
karena sebab yang tidak diketahui. Klasifikasi PTI berdasarkan gambaran klinisnya
dibagi menjadi tiga, yaitu PTI akut, merupakan PTI yang terjadi kurang dari 6
bulan, PTI kronis, merupakan PTI yang terjadi lebih dari 6 bulan atau lebih dan
Refractory, merupakan bentuk PTI yang
persisten walaupun telah diberikan pengobatan steroid yang adekuat dan
splenektomi.
Penatalaksanaannya
didasarkan pada klasifikasinya, yaitu pada PTI akut tanpa pengobatan, karena
dapat sembuh secara spontan, Kortikosteroid, Heparin intravena. Bila keadaan
sangat gawat dapat diberikan transfusi suspensi trombosit. Apabila terdapat
perdarahan internal, dapat diberikan IgIV. Pada PTI kronis diberikan Kortikosteroid
selama enam bulan, obat imunosupresif, misalnya 6-merkaptopurin, azatioprin,
siklofosfamid dan Splenektomi.
DAFTAR PUSTAKA
Behrman, Kliegman et.al. 2002. Idiophatic
Thrombositopenia Purpura 17th edition. Nelson Ilmu Kesehatan
Anak EGC. Jakarta.
Bradley S, Marino, Katie dkk. 2006. Blueprints Pediatrics Edisi ke-3. Mc Millan.
Rudolph, Robert, K, Kamei, Kim J. 2002. Overby Rudolph's Fundamentals Of Pediatrics Edisi
ke-3.
Sudoyo, AW, Setiyohadi, B, Alwi, I, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid Ke-2 Edisi Ke-4. Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta.
Suhendro, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar