KASUS
4
Talita
berusia 19 tahun, seorang mahasiswa. Dia membawa resep bertuliskan Plan B.
Resep ini digunakan untuk kontrasepsi post-coital darurat. Farmasis yang bertugas
pada waktu itu adalah Endri, menolak untuk melayani resep tersebut. Talita
menjadi bingung dan memohon dengan sangat kepada Endri untuk melayani resep
tersebut karena hanya apotek tersebut yang terdekat dari kampus serta yang
menerima asuransi dan dia tidak tahu harus ke apotek mana untuk menebus resep
tersebut. Dengan sedih Talita menjelaskan pada Endri bahwa alasan dia
membutuhkan resep tersebut karena dia telah diserang dan diperkosa ketika ke
asrama setelah pesta. Endri tetap bersikukuh dan merekomendasikan Talita untuk
memperoleh konseling. Pasien tersebut meninggalkan apotek dengan resep yang tak
dilayani dalam keadaan gusar dan emosional. Sehari setelah dia menghubungi dan
berbicara kepada manajer Endri, dia menjelaskan situasi dan permintaan agar
Endri dipecat. Apakah Endri telah benar dengan menolak untuk melayani obat? Apa
sebenarnya yang harus Endri lakukan kepada pasien?
Penyelesaian:
Kasus ini melibatkan prinsip etik dalam patient autonomy dan provider fidelity dan
nonmaleficence. Pasien mengharapkan adanya pelayan perawatan kesehatan mereka,
termasuk farmasis, untuk menggunakan keputusan profesionalnya untuk membuat
keputusan yang faktual dan objektif dan tidak berdasarkan pada keputusan
pribadi atau personal. Pasien mengungkapkan informasi yang bersifat pribadi dan
sensitif pada farmasis dan kepercayaan dimana mereka mengharapkan
loyalitas tinggi dari farmasis. Dilema moral muncul ketika farmasis merasa
secara moral tidak bisa menjalin hubungan dengan pasien dengan tidak memenuhi
resep yang valid. Dengan tidak memenuhi resep tersebut, farmasis terlihat
berperan sebagai “orang tua” yang mana seperti mengerti apa yang terbaik untuk
si pasien tanpa mempertimbangkan kebebasan pasien. Sangat penting untuk
dipahami bahwa tren dalam pelayanan kesehatan adalah memberdayakan pasien untuk
mengontrol pelayanan kesehatan untuk mereka dan kebebasan diwujudkan dengan
kebebasan memilih berdasarkan keputusan yang dibuat yang telah diinformasikan.
Farmasis
mempunyai tugas untuk menyediakan informasi obat kepada orang yang membutuhkan
obat dan pasien berhak atas perawatan yang diberikan oleh dokter. Dengan
demikian, penyusunan alternatif diperlukan untuk membantu pasien. Misalnya,
pada farmasis yang merujuk kepada farmasis lain untuk memenuhi resep tersebut,
tetapi resep tersebut harus sesuai dengan apa yang dituliskan dokter.
Farmasis
perlu menyadari implikasi keberatan dari hati nurani tidak hanya kepada pasien
tetapi juga pada atasan dan rekan kerja. Menurut Harvey and colleagues (2006),
“ketika farmasis mengambil sebuah pekerjaan, dia berkewajiban untuk mematuhi
kebijakan dan keputusan dari atasan….” Dengan demikian, lebih baik bila
farmasis menyelesaikan persoalan seperti ini dengan atasan dalam diskusi
terbuka sebelum menjadi halangan yang berpotensi menjadikan situasi yang kurang
kondusif pada kepuasan pasien dan kesejahteraan pasien.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar