Rabu, 06 April 2016

MYASTENIA GRAVIS

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Miastenia gravis adalah kelemahan otot yang cukup berat dimana terjadi kelelahan otot-otot secara cepat dengan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10 hingga 20 kali lebih lama dari normal). Myastenia gravis dapat mempengaruhi orang-orang dari segala umur. Penyakit ini biasanya menunjukkan karakteristik yang khas, yaitu kelemahan pada otot rangka yang biasanya disertai nyeri ketika menggerakkan otot. Dicurigai, kondisi ini disebabkan karena kelainan immunologis yang menyerang otot.
Miastenia gravis dapat terjadi pada anak-anak, dewasa, maupun lansia. Wanita lebih sering menderita miastenia gravis dibandingkan pria. Rasio perbandingan wanita dan pria yang menderita miastenia gravis adalah 6:4. Pada wanita, miastenia gravis tampak pada usia 15-35 tahun, sedangkan pria sering terjadi pada usia 40 tahun (Smeltzer & Bare, 2002). Akibat fatal dari miastenia gravis yaitu kematian. Kematian dari penyakit miastenia gravis biasanya disebabkan oleh insufisiensi pernafasan karena miastenia gravis ini juga dapat menyerang otot dada dan pernapasan (Putra, 2009). 
1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka penyusun dapat membuat rumusan masalah seperti berikut.
a.     Apakah yang dimaksud dengan myastenia gravis?
b.    Apasajakah jenis-jenis myastenia gravis?
c.     Apasajakah etiologi dari myastenia gravis?
d.    Apasajakah tanda dan gejala dari myastenia gravis?
e.     Bagaimanakah patofisiologi dari myastenia gravis?
f.     Bagaimanakah diagnosis dari myastenia gravis?
g.    Bagaimanakah penatalaksanaan dari myastenia gravis?
1.3  Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah seperti berikut ini.
a.     Agar Mahasiswa/i dapat memahami dan mengetahui pengertian dari myastenia gravis
b.    Agar Mahasiswa/i dapat memahami dan mengetahui jenis-jenis dari myastenia gravis
c.     Agar Mahasiswa/i dapat memahami dan mengetahui etiologi dari myastenia gravis
d.    Agar Mahasiswa/i dapat memahami dan mengetahui tanda dan gejala dari myastenia gravis
e.     Agar Mahasiswa/i dapat memahami dan mengetahui patofisiologis dari myastenia gravis
f.     Agar Mahasiswa/i dapat memahami dan mengetahui diagnosis dari myastenia gravis
g.    Agar Mahasiswa/i dapat memahami dan mengetahui penatalaksanaan dari myastenia gravis













BAB II
PEMBAHASAN
2.1    Definisi Myastenia Gravis
Myasthenia Gravis adalah suatu penyakit neuromuskular autoimun yang menyerang reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction yang ditandai kelemahan otot skeletal. Kelemahan otot yang meningkat saat aktifitas dan membaik saat istirahat. Myasthenia Gravis berasal dari bahasa Latin dan Yunani yang berarti kelemahan otot yang “grave” (buruk).

2.2    Jenis-Jenis Myastenia Gravis
Menurut Myastenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Kelas I
Adanya kelemahan otot-otot ocullar, kelemahan pada saat menutup mata dan kekuatan otot-otot lain normal
Kelas II
Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular.
Kelas IIa
Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan
Kelas IIb
Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa.
Kelas III
Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang
Kelas III a
Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan
Kelas III b
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat ringan.
Kelas IV
Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat
Kelas IV a
Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan
Kelas IV b
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi.
Kelas V
Penderita ter-intubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.

Klasifikasi menurut osserman ada 4 tipe, yaitu:
1.    Ocular Myastenia
Terkenanya otot-otot mata saja, dengan ptosis dan diplopia sangat ringan dan tidak ada kematian

2.    Generalized Myastenia
a.    Mild Generalized Myastenia : permulaan lambat, sering terkena otot mata, pelan-pelan meluas ke otot-otot skelet dan bulber. System pernafasan tidak terkena. Respon terhadap otot baik.
b.    Moderate Generalized Myastenia : Kelemahan hebat dari otot-otot skelet dan bulbar dan respon terhadap obat tidak memuaskan.

3.    Severe Generalized Myastenia
a.    Acute Fulmating Myastenia : permulaan cepat, kelemahan hebat dari otot-otot pernafasan, progresi penyakit biasanya komplit dalam 6 bulan. Respon terhadap obat kurang memuaskan, aktivitas penderita terbatas dan mortilitas tinggi, insidens tinggi thymoma.
b.    Late severe myasthenia : timbul paling sedikit 2 tahun setelah kelompok I dan II progresif dari myasthenia gravis dapat pelan-pelan atau mendadak, prosentase thymoma kedua paling tinggi. Respon terhadap obat dan prognosis jelek.



Miastenia gravis pada anak diklasifikasikan sebagai berikut:
1.    Miastenia Gravis Kongenital
Biasanya pada usia kurang dari 2 tahun, memiliki pola familial serta tidak berespons terhadap terapi steroid. Jenis ini jarang dijumpai.

2.    Miastenia Gravis Juvenile
Biasanya terjadi setelah usia 5 tahun, tidak memiliki pola familial dan memiliki karakteristik mekanisme autoimun.

3.    Miastenia Gravis Neonatal
Onset paling cepat timbul dalam beberapa jam setelah kelahiran. Beberapa kasus dilaporkan dalam 1 hari, paling lambat dalam 3 hari. Merupakan miastenia gravis yang didapat dari seorang ibu penderita miastenia gravis, bersifat self-limited atau sementara, karena hanya disebabkan oleh transfer antibodi terhadap reseptor asetilkolin maternal melalui plasenta. Remisi sempurna lebih banyak didapatkan pada jenis ini.
2.3    Etiologi Myastenia Gravis
Penyebab miastenia gravis belum dapat dipastikan (Corwin, 2009). Namun kemungkinan dapat diakibatkan oleh adanya antibodi terhadap reseptor saraf otot dan penggunaan obat-obatan seperti antibiotik (mikrolid, flurokuinolon, aminoglikosida, tetrasiklin, klorokuin), obat anti aritmia (penyekat-β, penyekat kanal-Ca, kuinidin, lidokain, prokainamid, dan trimethaptan), difenilhidation, litium, klorpromazin, pelemas otot, levotrikosin, ACTH, serta penggunaan kortikosteroid intermiten (Dewanto, 2009). Kontraksi otot berulang dan terus-menerus juga berakibat pada kelemahan (Rubenstein, 2007).

2.4    Tanda dan Gejala Myastenia Gravis
Dalam kebanyakan kasus, gejala nyata pertama adalah kelemahan otot mata. Pada orang lain, kesulitan menelan mungkin tanda-tanda pertama. Tingkat kelemahan otot yang terlibat dalam myasthenia gravis bervariasi di antara orang-orang dengan penyakit ini. Gejala, yang bervariasi dalam jenis dan tingkat keparahan, termasuk:
a.    Kelemahan otot pada kelopak mata (ptosis)
b.    Pandangan kabur atau menjadi ganda (diplopia)
c.    Perubahan ekspresi pada wajah
d.   Kesulitan untuk menelan
e.    Gangguan bicara
f.     Nafas pendek atau berat
g.    Tidak stabil dalam berjalan
h.    Kelemahan otot leher, lengan, tangan, jari, dan tungkai.

2.5    Patofisiologi Myastenia Gravis
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain.
Tidak diragukan lagi, bahwa antibodi pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis. Auto antibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata (Rosyid, 2010). Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti.
Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai penyakit terkait sel B, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik.
2.6    Diagnosis Myastenia Gravis
Penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan sebagai berikut (Ngoerah, 1991):
a.    Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang terang, penderita menjadi anartris dan afonis.
b.    Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak ada ptosis, maka penderita disuruh beristirahat. Kemudian tampak bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi.
c.    Uji Tensilon (edrophonium chloride), disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat.
d.   Uji Prostigmin (neostigmin), pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin merhylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½ mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.
e.    Uji Kinin, diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg, 3 jam kemudian diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.
Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis pasti ada beberapa cara:
a.    Pemeriksaan Laboratorium
1.    Anti-Asetilkolin Reseptor Antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang positif pada 74% pasien, 80% dari penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR antibody (Howard, 2008).

2.    Antistriated Muscle (Anti-SM) Antibody
Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.

3.    Anti-Muscle-Specific Kinase (Musk) Antibodies
Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab.

4.    Antistriational Antibodies
Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibodi yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR). Antibodi ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma dengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan suatu kecurigaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda dengan miastenia gravis.

b.    Imaging
1.    Chest x-ray (foto roentgen thorak), dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum.
2.    Chest Ct-scan untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada penderita dengan usia tua.
3.    MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak.

c.    Pendekatan Elektrodiagnostika
1.    Repetitive Nerve Stimulation (RNS), pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.
2.    Single-fiber Electromyography (SFEMG), menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density yang normal.
2.7    Penatalaksanaan Myastenia Gravis
2.7.1   Terapi Nonfarmakologi
a.    Menjaga kondisi untuk tidak kelelahan dalam melakukan pekerjaan dan menjaga kondisi untuk tidak stres. Karena kebanyakan pasien-pasien miastenia gravis ini terjadi pada saat mereka dalam kondisi yang lelah dan tegang.
b.    Mencegah untuk tidak terjadinya penyakit infeksi pada pernafasan. Karena hal ini dapat memperburuk kelemahan otot yang diderita oleh individu.
c.    Istirahat yang cukup
d.   Pada Miastenia gravis dengan ptosis, yaitu dapat diberikan kacamata khusus yang dilengkapi dengan pengait kelopak mata.

2.7.2        Terapi Farmakologi
a.    Piridostigmin bromide
Dosis yang dianjurkan 1 mg/kg setiap 4-6 jam. Terapi ini termasuk lini pertama. Efeknya cepat dalam 15–30 menit. Efek samping muskarinik meliputi kram, diare, salivasi, lakrimasi, dan bradikardia.

b.      Kortikosteroid
Dimulai dari dosis 20 mg 4 kali sehari ditingkatkan 10 mg tiap 3-5 hari. Indikasi terapi ini pada kasus berat yang tidak responsif dengan piridostigmin. Remisi atau perbaikan terjadi pada 65–75% pasien. Efek samping yang dapat timbul, yaitu dispepsia, ulkus gaster, hipertensi, intoleransi glukosa, katarak, retensi air, dan peningkatan berat badan.

c.     Timektomi
Diindikasikan pada miastenia gravis generalisata, usia pubertas hingga 60 tahun. Sangat menguntungkan bagi pasien yang memiliki timoma, banyak yang remisi setelah pembedahan. Komplikasi tindakan harus dipahami dengan baik.

d.   Azathioprine
Dosis awal 50 mg per hari, dosis terapeutik 2–3 mg/kg/hari. Terapi ini diberikan bila terdapat kontraindikasi pemberian kortikosteroid, tidak efektif atau toleransinya buruk. Efek samping adalah demam, mual, nyeri abdominal, leukopenia, hepatotoksisitas, peningkatan risiko keganasan bila di gunakan jangka panjang, dan teratogenik. Efek perbaikan klinis sangat lama, yaitu 2–6 bulan.

e.    Plasmaferesis
Dosis plasmaferesis, yaitu 55 ml/kg/hari selama 5 hari. Biasanya perbaikan terjadi setelah pemberian ke-3 dan menetap hingga 2–4 minggu. Terapi ini diindikasikan untuk pre-timektomi, krisis miastenik, kelemahan yang cepat, dan progresivitas gejala.

f.     Siklosporin
Dosis siklosporin 3–5 mg/kg/hari diberikan 2 kali sehari. Onset terapi lebih cepat dibandingkan azathioprine. Terapi ini lebih dipilih bila pasien refrakter dengan terapi lain. Efek samping yang dapat timbul yaitu disfungsi renal, hipertensi, nyeri kepala, hirsutisme, ensefalopati, dan kejang.

g.    Imunoglobulin Intravena
Dosis yang dianjurkan yaitu 400 mg/kg/hari selama 5 hari atau 1 gram/kg/hari selama 2 hari. Terapi ini dipilih bila plasmaferesis tidak dapat dikerjakan. Terapi ini memberikan perbaikan klinis cepat, biasanya ditoleransi baik dan tanpa komplikasi. Kerugian terapi ini dibandingkan plasmaferesis, yaitu perbaikan klinis lebih lambat, nyeri kepala.

BAB III
PENUTUP
3.1    Kesimpulan
Myasthenia Gravis adalah suatu penyakit neuromuskular autoimun yang menyerang reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction yang ditandai kelemahan otot skeletal. Penyebab miastenia gravis belum dapat dipastikan (Corwin, 2009). Namun kemungkinan dapat diakibatkan oleh adanya antibodi terhadap reseptor saraf otot dan penggunaan obat-obatan seperti antibiotic, obat anti aritmia, difenilhidation, litium, klorpromazin, pelemas otot, levotrikosin, ACTH, serta penggunaan kortikosteroid intermiten (Dewanto, 2009).
Dalam kebanyakan kasus, gejala nyata pertama adalah kelemahan otot mata. Pada orang lain, kesulitan menelan mungkin tanda-tanda pertama. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain.
Salah satu penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan pada penderita dengan cara penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang terang, penderita menjadi anartris dan afonis.
Salah satu terapi nonfarmakologinya yaitu menjaga kondisi untuk tidak kelelahan dalam melakukan pekerjaan dan menjaga kondisi untuk tidak stres. Karena kebanyakan pasien-pasien miastenia gravis ini terjadi pada saat mereka dalam kondisi yang lelah dan tegang. Pengobatan untuk myasthenia gravis bila dilakukan dengan pemberian piridostigmin bromide, kortikosteroid, timektomi, azathioprine, plasmaferesis, siklosporin, imunoglobulin intravena.
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, E. J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. EGC: Jakarta
Dewanto, G. 2009. Panduan Praktis Diagnosa dan Tatalaksana Penyakit Saraf. EGC: Jakarta.
Ngoerah, I. 1991. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlangga University Press: Surabaya
Putra, S. 2009. Miastenia Gravis. Universitas Jember: Jember
Rosyid, F. N. 2010. Health Sciene Myasthenia Gravis and Management. University Muhammadiyah Surabaya: Surabaya.
Rubenstein, D. 2007. Lecture Notes: Kedokteran Klinis. Erlangga: Jakarta
Smeltzer, S. Dan Bare, B. 2002. Buku Ajar Medikal Keperawatan Bedah Brunner & Suddarth. EGC: Jakarta









LAMPIRAN
ANALISA KASUS
Tuan jones adalah pelanggan tetap di toko anda, memberikanmu sebuah resep. Dia memiliki kesulitan menandai belakang resep karena dia tidak bisa fokus dengan baik disebabkan kelopak matanya kendur dan tangannya sedikit gemetar. Dia baru-baru ini mengambil pensiun dini dari pekerjaannya sebagai pegawai kantor karena ia mendapatkan kelelahan yang parah pada semua otot-ototnya, terutama setelah seharian bekerja. Kelelahan membaik setelah beristirahat. Dia menceritakan kepadamu, beberapa bulan yang lalu mengenai kelelahannya dan berpikir bahwa itu mungkin disebabkan oleh stres dan diet yang kurang, karena jam kerjanya  yang sangat panjang untuk menyelesaikan waktu kontrak.
Dia membeli beberapa multivitamin dengan ginseng, tetapi lelahnya tidak juga hilang kecuali ketika dia liburan untuk beberapa hari. Tuan Jones telah dirujuk ke ahli saraf di sebuah rumah sakit lokal untuk menjalankan beberapa pemeriksaan dan dokter menuliskannya resep tablet pyridostigmine bromide 60 mg, setengah tablet diminum 4 kali sehari, awalnya ditingkatkan hingga 6 tablet sehari, jika kelemahan otot tidak membaik. Dokter juga meresepkan tablet hyosine butylbromide 10 mg, diminum dua tablet empat kali sehari.
Penyelesaian Kasus:
1.        Subjektif:
a.    Nama               : Tn. Jones
b.    Keluhan           : kelopak matanya kendur dan tangannya sedikit gemetar, kelelahan yang parah pada semua otot-otot akan hilang setelah istirahat.




2.        Assament
Pasien diagnosis Myasthenia Gravis dengan masuk kelompok I Myasthenia Okular, hanya menyerang otot-otot ocular, disertai ptosis (kelemahan otot pada kelopak mata) dan diplopia (pandangan kabur atau menjadi ganda).

3.        Planning
a.     Non Farmakologis
·      Istirahat dan tidur teratur 10 jam sehari untuk memperbaiki kondisi kesehatannya.
·      Menjaga kondisi untuk tidak kelelahan dalam melakukan pekerjaan dan menjaga kondisi untuk tidak stres.
·      Dapat diberikan kacamata khusus yang dilengkapi dengan pengait kelopak mata.

b.    Farmakologis
·      Pyridostigmine bromide 60 mg, setengah tablet diminum 4 kali sehari, di tingkatkan 6 kali sehari bila kelemahan otot tidak membaik.
·      Hiosine butilbromida (Tablet 10 mg) diminum 2 tablet empat kali sehari. Merupakan obat yang kontraindikasi terhadap penyakit miastenia gravis sehingga obat ini digunakan jika pasien mengalami krisis kolinergik yakni adanya peningkatan efek samping dari antikolinesterase. Namun, hiosin butilbromida memiliki absorbsi yang kecil/ buruk sehingga pemilihan yang tepat untuk menghilangkan efek samping dari antikolinesterase adalah Atropin Sulfat 0.6 mg/mL.

c.       Monitoring
·      Monitor efek samping obat
·      Monitor kelopak mata
·      Monitor kadar asetilkolin

d.      Komunikasi, Informasi dan Edukasi
·      Tn. Jones disarankan untuk lebih sering istirahat dan tidur teratur 10 jam sehari untuk memperbaiki kondisi kesehatannya.
·      Menjaga kondisi untuk tidak kelelahan dalam melakukan pekerjaan dan menjaga kondisi untuk tidak stres.
·      Jika terjadi efek samping obat segera hubungi dokter.
·      Informasikan kepada pasien seputar ESO yang potensial terjadi.
·      Jangan mengganti sediaan obat ataupun dosis tanpa sepengetahuan dokter.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar