BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Miastenia
gravis adalah kelemahan otot yang cukup berat dimana terjadi kelelahan
otot-otot secara cepat dengan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10 hingga
20 kali lebih lama dari normal). Myastenia gravis dapat mempengaruhi
orang-orang dari segala umur. Penyakit ini biasanya menunjukkan karakteristik
yang khas, yaitu kelemahan pada otot rangka yang biasanya disertai nyeri ketika
menggerakkan otot. Dicurigai, kondisi ini disebabkan karena kelainan
immunologis yang menyerang otot.
Miastenia gravis dapat terjadi pada
anak-anak, dewasa, maupun lansia. Wanita lebih sering menderita miastenia
gravis dibandingkan pria. Rasio perbandingan wanita dan pria yang menderita
miastenia gravis adalah 6:4. Pada wanita, miastenia gravis tampak pada usia
15-35 tahun, sedangkan pria sering terjadi pada usia 40 tahun (Smeltzer
& Bare, 2002). Akibat fatal dari miastenia gravis yaitu kematian. Kematian
dari penyakit miastenia gravis biasanya disebabkan oleh insufisiensi pernafasan
karena miastenia gravis ini juga dapat menyerang otot dada dan
pernapasan (Putra, 2009).
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka penyusun dapat
membuat rumusan masalah seperti berikut.
a. Apakah yang dimaksud dengan myastenia gravis?
b. Apasajakah jenis-jenis myastenia gravis?
c. Apasajakah etiologi dari myastenia gravis?
d. Apasajakah tanda dan gejala dari myastenia gravis?
e. Bagaimanakah patofisiologi dari myastenia gravis?
f. Bagaimanakah diagnosis dari myastenia gravis?
g. Bagaimanakah penatalaksanaan dari myastenia gravis?
1.3
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang
diharapkan dari penulisan makalah ini adalah seperti berikut ini.
a. Agar Mahasiswa/i dapat memahami dan
mengetahui pengertian
dari myastenia gravis
b. Agar Mahasiswa/i dapat memahami dan
mengetahui jenis-jenis
dari myastenia gravis
c. Agar Mahasiswa/i dapat memahami dan
mengetahui etiologi
dari myastenia gravis
d. Agar Mahasiswa/i dapat memahami dan
mengetahui tanda
dan gejala dari myastenia
gravis
e. Agar Mahasiswa/i dapat memahami dan
mengetahui patofisiologis
dari myastenia gravis
f. Agar Mahasiswa/i dapat memahami dan
mengetahui diagnosis
dari myastenia gravis
g. Agar Mahasiswa/i dapat memahami dan
mengetahui penatalaksanaan
dari myastenia gravis
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Definisi Myastenia Gravis
Myasthenia Gravis adalah suatu penyakit
neuromuskular autoimun yang menyerang reseptor asetilkolin pada neuromuscular
junction yang ditandai kelemahan otot skeletal. Kelemahan otot yang meningkat
saat aktifitas dan membaik saat istirahat. Myasthenia Gravis berasal dari
bahasa Latin dan Yunani yang berarti kelemahan otot yang “grave” (buruk).
2.2
Jenis-Jenis
Myastenia Gravis
Menurut Myastenia Gravis Foundation of
America (MGFA), miastenia gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Kelas
I
|
Adanya
kelemahan otot-otot ocullar, kelemahan pada saat menutup mata dan kekuatan
otot-otot lain normal
|
Kelas
II
|
Terdapat
kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan ringan pada
otot-otot lain selain otot okular.
|
Kelas
IIa
|
Mempengaruhi
otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat kelemahan
otot-otot orofaringeal yang ringan
|
Kelas
IIb
|
Mempengaruhi
otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan pada
otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan klas
IIa.
|
Kelas
III
|
Terdapat
kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain selain
otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang
|
Kelas
III a
|
Mempengaruhi
otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara predominan.
Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan
|
Kelas
III b
|
Mempengaruhi
otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara predominan.
Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya
dalam derajat ringan.
|
Kelas
IV
|
Otot-otot
lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang berat,
sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat
|
Kelas
IV a
|
Secara
predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot aksial.
Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan
|
Kelas
IV b
|
Mempengaruhi
otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara predominan.
Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot
aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita
menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi.
|
Kelas
V
|
Penderita
ter-intubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.
|
Klasifikasi
menurut osserman ada 4 tipe, yaitu:
1. Ocular
Myastenia
Terkenanya otot-otot
mata saja, dengan ptosis dan diplopia sangat ringan dan tidak ada kematian
2. Generalized
Myastenia
a. Mild
Generalized Myastenia : permulaan
lambat, sering terkena otot mata, pelan-pelan meluas ke otot-otot skelet dan
bulber. System pernafasan tidak terkena. Respon terhadap otot baik.
b. Moderate
Generalized Myastenia : Kelemahan
hebat dari otot-otot skelet dan bulbar dan respon terhadap obat tidak
memuaskan.
3. Severe
Generalized Myastenia
a. Acute
Fulmating Myastenia : permulaan
cepat, kelemahan hebat dari otot-otot pernafasan, progresi penyakit biasanya
komplit dalam 6 bulan. Respon terhadap obat kurang memuaskan, aktivitas
penderita terbatas dan mortilitas tinggi, insidens tinggi thymoma.
b. Late
severe myasthenia : timbul
paling sedikit 2 tahun setelah kelompok I dan II progresif dari myasthenia
gravis dapat pelan-pelan atau mendadak, prosentase thymoma kedua paling tinggi.
Respon terhadap obat dan prognosis jelek.
Miastenia
gravis pada anak diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Miastenia
Gravis Kongenital
Biasanya
pada usia kurang dari 2 tahun, memiliki pola familial serta tidak berespons
terhadap terapi steroid. Jenis ini jarang dijumpai.
2. Miastenia
Gravis Juvenile
Biasanya terjadi setelah usia 5 tahun, tidak
memiliki pola familial dan memiliki karakteristik mekanisme autoimun.
3. Miastenia
Gravis Neonatal
Onset paling cepat timbul dalam beberapa
jam setelah kelahiran. Beberapa kasus dilaporkan dalam 1 hari, paling lambat dalam
3 hari. Merupakan miastenia gravis yang didapat dari seorang ibu penderita miastenia
gravis, bersifat self-limited atau sementara, karena hanya disebabkan oleh transfer
antibodi terhadap reseptor asetilkolin maternal melalui plasenta. Remisi sempurna
lebih banyak didapatkan pada jenis ini.
2.3
Etiologi
Myastenia Gravis
Penyebab miastenia gravis belum dapat
dipastikan (Corwin, 2009). Namun kemungkinan dapat diakibatkan oleh adanya
antibodi terhadap reseptor saraf otot dan penggunaan obat-obatan seperti
antibiotik (mikrolid, flurokuinolon, aminoglikosida, tetrasiklin, klorokuin),
obat anti aritmia (penyekat-β, penyekat kanal-Ca, kuinidin, lidokain,
prokainamid, dan trimethaptan), difenilhidation, litium, klorpromazin, pelemas
otot, levotrikosin, ACTH, serta penggunaan kortikosteroid
intermiten (Dewanto, 2009). Kontraksi otot berulang dan terus-menerus juga
berakibat pada kelemahan (Rubenstein, 2007).
2.4
Tanda
dan Gejala Myastenia Gravis
Dalam kebanyakan kasus, gejala nyata
pertama adalah kelemahan otot mata. Pada orang lain, kesulitan menelan mungkin
tanda-tanda pertama. Tingkat kelemahan otot yang terlibat dalam myasthenia
gravis bervariasi di antara orang-orang dengan penyakit ini. Gejala, yang
bervariasi dalam jenis dan tingkat keparahan, termasuk:
a. Kelemahan
otot pada kelopak mata (ptosis)
b. Pandangan
kabur atau menjadi ganda (diplopia)
c. Perubahan
ekspresi pada wajah
d. Kesulitan
untuk menelan
e. Gangguan
bicara
f. Nafas
pendek atau berat
g. Tidak
stabil dalam berjalan
h. Kelemahan
otot leher, lengan, tangan, jari, dan tungkai.
2.5
Patofisiologi
Myastenia Gravis
Mekanisme
imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi miastenia
gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya kelainan
autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia gravis, misalnya
autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan
lain-lain.
Tidak
diragukan lagi, bahwa antibodi pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan
penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis. Auto antibodi
terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90%
pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata (Rosyid, 2010). Mekanisme
pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada
penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti.
Miastenia
gravis dapat dikatakan sebagai penyakit terkait sel B, dimana antibodi yang
merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T
pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ
sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus
seperti hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien
dengan gejala miastenik.
2.6 Diagnosis Myastenia Gravis
Penegakan
diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan sebagai berikut (Ngoerah, 1991):
a.
Penderita ditugaskan untuk
menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan akan terdengar bahwa suaranya
bertambah lemah dan menjadi kurang terang, penderita menjadi anartris dan
afonis.
b.
Penderita ditugaskan
untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama kelamaan akan timbul
ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak ada ptosis, maka penderita
disuruh beristirahat. Kemudian
tampak bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi.
c.
Uji Tensilon
(edrophonium chloride), disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak
terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena.
Segera sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah
seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu
benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap.
Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama,
karena efektivitas tensilon sangat singkat.
d.
Uji Prostigmin
(neostigmin), pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin merhylsulfat
secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½ mg). Bila
kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala seperti
misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan
lenyap.
e.
Uji Kinin, diberikan 3
tablet kinina masing-masing 200 mg, 3 jam kemudian diberikan 3 tablet lagi
(masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh
miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan
bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin,
agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.
Pemeriksaan
penunjang untuk diagnosis pasti ada
beberapa cara:
a.
Pemeriksaan
Laboratorium
1.
Anti-Asetilkolin
Reseptor Antibodi
Hasil
dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis,
dimana terdapat hasil yang positif pada 74% pasien, 80% dari penderita
miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular
murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif.
Pada pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive
anti-AChR antibody (Howard, 2008).
2.
Antistriated Muscle
(Anti-SM) Antibody
Merupakan
salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini
menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam
usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40
tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.
3.
Anti-Muscle-Specific
Kinase (Musk) Antibodies
Hampir
50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab negatif
(miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK
Ab.
4.
Antistriational Antibodies
Dalam
serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibodi yang
berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung
penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan
ryanodine (RyR). Antibodi ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma dengan
miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan
suatu kecurigaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda dengan
miastenia gravis.
b.
Imaging
1.
Chest x-ray (foto
roentgen thorak), dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral.
Pada roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada
bagian anterior mediastinum.
2.
Chest Ct-scan untuk
mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada
penderita dengan usia tua.
3.
MRI pada otak dan
orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI dapat digunakan
apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan
penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak.
c. Pendekatan
Elektrodiagnostika
1. Repetitive
Nerve Stimulation (RNS), pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan
jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu
potensial aksi.
2. Single-fiber
Electromyography (SFEMG), menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki
permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi
suatu jitter (variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih
serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah
potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam).
SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa
peningkatan jitter dan fiber density yang normal.
2.7
Penatalaksanaan
Myastenia Gravis
2.7.1 Terapi
Nonfarmakologi
a. Menjaga kondisi
untuk tidak kelelahan dalam melakukan pekerjaan dan menjaga kondisi untuk tidak
stres. Karena kebanyakan pasien-pasien miastenia gravis ini terjadi pada saat mereka dalam
kondisi
yang lelah dan
tegang.
b. Mencegah untuk tidak terjadinya
penyakit infeksi pada pernafasan. Karena hal ini dapat memperburuk kelemahan
otot yang diderita oleh individu.
c. Istirahat yang cukup
d. Pada Miastenia gravis dengan ptosis,
yaitu dapat diberikan kacamata khusus yang dilengkapi dengan pengait kelopak
mata.
2.7.2
Terapi Farmakologi
a. Piridostigmin
bromide
Dosis yang dianjurkan 1 mg/kg setiap 4-6
jam. Terapi ini termasuk lini pertama. Efeknya cepat dalam 15–30 menit. Efek
samping muskarinik meliputi kram, diare, salivasi, lakrimasi, dan bradikardia.
b. Kortikosteroid
Dimulai dari dosis 20 mg 4 kali sehari ditingkatkan
10 mg tiap 3-5 hari. Indikasi terapi ini pada kasus berat yang tidak responsif
dengan piridostigmin. Remisi atau perbaikan terjadi pada 65–75% pasien. Efek samping
yang dapat timbul, yaitu dispepsia, ulkus gaster, hipertensi, intoleransi
glukosa, katarak, retensi air, dan peningkatan berat badan.
c. Timektomi
Diindikasikan pada miastenia gravis
generalisata, usia pubertas hingga 60 tahun. Sangat menguntungkan bagi pasien
yang memiliki timoma, banyak yang remisi setelah pembedahan. Komplikasi
tindakan harus dipahami dengan baik.
d. Azathioprine
Dosis awal 50 mg per hari, dosis
terapeutik 2–3 mg/kg/hari. Terapi ini diberikan bila terdapat kontraindikasi
pemberian kortikosteroid, tidak efektif atau toleransinya buruk. Efek samping
adalah demam, mual, nyeri abdominal, leukopenia, hepatotoksisitas, peningkatan
risiko keganasan bila di gunakan jangka panjang, dan teratogenik. Efek
perbaikan klinis sangat lama, yaitu 2–6 bulan.
e. Plasmaferesis
Dosis plasmaferesis, yaitu 55 ml/kg/hari
selama 5 hari. Biasanya perbaikan terjadi setelah pemberian ke-3 dan menetap
hingga 2–4 minggu. Terapi ini diindikasikan untuk pre-timektomi, krisis
miastenik, kelemahan yang cepat, dan progresivitas gejala.
f. Siklosporin
Dosis siklosporin 3–5 mg/kg/hari
diberikan 2 kali sehari. Onset terapi lebih cepat dibandingkan azathioprine.
Terapi ini lebih dipilih bila pasien refrakter dengan terapi lain. Efek samping
yang dapat timbul yaitu disfungsi renal, hipertensi, nyeri kepala, hirsutisme,
ensefalopati, dan kejang.
g. Imunoglobulin
Intravena
Dosis yang dianjurkan yaitu 400
mg/kg/hari selama 5 hari atau 1 gram/kg/hari selama 2 hari. Terapi ini dipilih
bila plasmaferesis tidak dapat dikerjakan. Terapi ini memberikan perbaikan
klinis cepat, biasanya ditoleransi baik dan tanpa komplikasi. Kerugian terapi
ini dibandingkan plasmaferesis, yaitu perbaikan klinis lebih lambat, nyeri
kepala.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Myasthenia
Gravis adalah suatu penyakit neuromuskular autoimun yang menyerang reseptor
asetilkolin pada neuromuscular junction yang ditandai kelemahan otot skeletal.
Penyebab miastenia gravis belum dapat dipastikan (Corwin, 2009). Namun
kemungkinan dapat diakibatkan oleh adanya antibodi terhadap reseptor saraf otot
dan penggunaan obat-obatan seperti antibiotic, obat anti aritmia,
difenilhidation, litium, klorpromazin, pelemas otot, levotrikosin, ACTH, serta
penggunaan kortikosteroid intermiten (Dewanto, 2009).
Dalam
kebanyakan kasus, gejala nyata pertama adalah kelemahan otot mata. Pada orang
lain, kesulitan menelan mungkin tanda-tanda pertama. Observasi klinik yang
mendukung hal ini mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan
pasien yang menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik
lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain.
Salah
satu penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan pada
penderita dengan cara penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang
keras. Lama kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi
kurang terang, penderita menjadi anartris dan afonis.
Salah
satu terapi nonfarmakologinya yaitu menjaga kondisi untuk tidak kelelahan dalam melakukan
pekerjaan dan menjaga kondisi untuk tidak stres. Karena kebanyakan
pasien-pasien miastenia gravis ini terjadi pada saat mereka dalam kondisi yang
lelah dan tegang. Pengobatan untuk myasthenia gravis bila dilakukan dengan
pemberian piridostigmin bromide, kortikosteroid, timektomi,
azathioprine, plasmaferesis, siklosporin, imunoglobulin intravena.
DAFTAR
PUSTAKA
Corwin,
E. J. 2009. Buku Saku
Patofisiologi.
EGC: Jakarta
Dewanto, G. 2009. Panduan Praktis Diagnosa dan Tatalaksana Penyakit
Saraf. EGC:
Jakarta.
Ngoerah, I. 1991. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf.
Airlangga University Press: Surabaya
Putra,
S. 2009. Miastenia Gravis.
Universitas Jember: Jember
Rosyid, F. N. 2010. Health Sciene Myasthenia Gravis and Management.
University Muhammadiyah Surabaya:
Surabaya.
Rubenstein,
D. 2007. Lecture Notes: Kedokteran
Klinis. Erlangga: Jakarta
Smeltzer, S. Dan Bare, B. 2002. Buku Ajar Medikal
Keperawatan
Bedah
Brunner & Suddarth.
EGC: Jakarta
LAMPIRAN
ANALISA
KASUS
Tuan
jones adalah pelanggan tetap di toko anda,
memberikanmu sebuah resep. Dia memiliki kesulitan menandai belakang resep karena
dia tidak bisa fokus dengan baik disebabkan kelopak matanya kendur dan
tangannya sedikit gemetar. Dia baru-baru ini mengambil pensiun dini dari
pekerjaannya sebagai pegawai kantor karena ia mendapatkan kelelahan yang parah
pada semua otot-ototnya, terutama setelah seharian bekerja. Kelelahan membaik
setelah beristirahat. Dia menceritakan
kepadamu, beberapa bulan yang
lalu mengenai kelelahannya dan berpikir bahwa itu mungkin disebabkan oleh stres
dan diet yang kurang, karena jam kerjanya
yang sangat panjang untuk menyelesaikan waktu kontrak.
Dia
membeli beberapa multivitamin dengan ginseng,
tetapi lelahnya tidak juga hilang kecuali ketika dia liburan untuk beberapa
hari. Tuan Jones telah dirujuk ke ahli saraf di sebuah rumah sakit lokal untuk menjalankan beberapa
pemeriksaan dan dokter menuliskannya resep tablet pyridostigmine bromide 60 mg,
setengah tablet diminum 4 kali sehari, awalnya ditingkatkan hingga 6 tablet sehari, jika
kelemahan otot tidak membaik. Dokter juga meresepkan tablet hyosine
butylbromide 10 mg, diminum dua tablet empat kali sehari.
Penyelesaian Kasus:
1.
Subjektif:
a.
Nama : Tn. Jones
b.
Keluhan : kelopak matanya
kendur dan tangannya sedikit gemetar, kelelahan yang parah pada semua
otot-otot akan
hilang setelah istirahat.
2.
Assament
Pasien diagnosis Myasthenia Gravis
dengan masuk kelompok I Myasthenia Okular, hanya menyerang otot-otot ocular,
disertai ptosis (kelemahan
otot pada kelopak mata) dan diplopia (pandangan kabur atau
menjadi ganda).
3.
Planning
a. Non Farmakologis
·
Istirahat dan tidur teratur 10 jam sehari untuk memperbaiki kondisi
kesehatannya.
·
Menjaga kondisi untuk tidak kelelahan dalam melakukan
pekerjaan dan menjaga kondisi untuk tidak stres.
·
Dapat diberikan kacamata khusus yang dilengkapi dengan
pengait kelopak mata.
b. Farmakologis
·
Pyridostigmine bromide
60 mg, setengah tablet diminum 4 kali sehari, di tingkatkan 6 kali sehari bila
kelemahan otot tidak membaik.
· Hiosine butilbromida (Tablet 10 mg) diminum 2 tablet empat kali sehari. Merupakan obat yang kontraindikasi
terhadap penyakit miastenia gravis sehingga obat ini digunakan jika pasien
mengalami krisis kolinergik yakni adanya peningkatan efek samping dari
antikolinesterase. Namun, hiosin butilbromida memiliki absorbsi yang kecil/
buruk sehingga pemilihan yang tepat untuk menghilangkan efek samping dari
antikolinesterase adalah Atropin Sulfat 0.6 mg/mL.
c.
Monitoring
· Monitor efek
samping obat
· Monitor
kelopak mata
· Monitor
kadar asetilkolin
d.
Komunikasi, Informasi dan Edukasi
·
Tn. Jones disarankan untuk lebih sering istirahat dan tidur
teratur 10 jam sehari untuk memperbaiki kondisi kesehatannya.
·
Menjaga kondisi untuk tidak kelelahan dalam melakukan
pekerjaan dan menjaga kondisi untuk tidak stres.
· Jika terjadi
efek samping obat segera hubungi dokter.
· Informasikan
kepada pasien seputar ESO yang potensial terjadi.
· Jangan
mengganti sediaan obat ataupun dosis tanpa sepengetahuan dokter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar